Number Portability di Indonesia
Source: Kompas-Kamis, 02 September 2004
Oleh: Anton Timur
KOMPETISI industri telekomunikasi di Indonesia semakin ketat sehingga operator harus mencari pelanggan baru sebanyak-banyaknya, di samping mempertahankan pelanggan lamanya kalau ingin tetap eksis. Kondisi ini memungkinkan seseorang mempunyai nomor telepon lebih dari satu, bahkan bisa dari operator yang berbeda-beda pula.
Akan tetapi, perlukah kita mempunyai banyak nomor telepon? Bagaimana jika pendekatannya diubah, pengguna jasa telekomunikasi bisa berganti-ganti operator dengan nomor telepon yang sama/tetap? Konsep menarik ini dikenal dengan sebutan number portability.
Number portability adalah kemudahan bagi pengguna jasa telekomunikasi, baik tetap maupun seluler, untuk berpindah operator tanpa perlu mengganti atau mengubah nomor telepon aslinya. Hingga kini ada tiga model number portability, yaitu:
1. service provider portability, yang memungkinkan pelanggan berpindah service provider atau operator tanpa perlu mengganti nomor teleponnya.
2. service portability, yang memungkinkan pelanggan berganti dari satu layanan ke layanan lainnya (misalnya dari telepon analog biasa menjadi ISDN) tanpa perlu mengganti nomor teleponnya.
3. geographic portability, yang memungkinkan pelanggan berpindah tempat dari satu lokasi fisik satu ke lokasi lainnya tanpa perlu mengganti nomor teleponnya.
Penerapan model service portability dan geographic portability belum sepopuler service provider portability sehingga tidak aneh bila kemudian pengertian number portability lebih banyak diartikan sebagai service provider portability.
Konsep number portability sudah diuji coba di Amerika Serikat melalui peraturan yang dibuat oleh Federal Communications Commision (FCC) atau badan regulasi telekomunikasi AS pada bulan Juli 1996. Peraturan tersebut dituangkan dalam UU Telekomunikasi (Telecommunications Acts) yang ditandatangani Presiden Bill Clinton. Tujuannya, membuka kompetisi telekomunikasi yang adil dan seluas-luasnya, khususnya bagi operator-operator telepon lokal dan wireless (seluler), baik pemain lama (incumbent operator) ataupun pendatang (new entrants operator). Number portability untuk jaringan telepon lokal tetap (wireline) disebut dengan local number portability (LNP), sedangkan untuk jaringan seluler disebut wireless number portability (WNP).
Penerapan di Indonesia
Indonesia sudah mulai mengadopsi konsep awal number portability meski masih terbatas pada pengaturan kode akses jasa telepon dasar untuk sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) dan sambungan langsung internasional (SLI). Saat ini pengguna jasa telekomunikasi bebas memilih operator SLI mana saja yang akan digunakannya untuk melakukan hubungan (ke dan dari) mancanegara dengan tetap memakai nomor telepon asalnya.
Masyarakat ketika akan melakukan SLI hanya perlu menggunakan kode awal (prefiks) telepon saja, 007 melalui PT Telkom, atau 001 dan 008 untuk PT Indosat. Cara yang sama nantinya juga akan diterapkan pada SLJJ di mana pengguna jasa telekomunikasi bisa bebas memilih 017 melalui PT Telkom atau 011 melalui PT Indosat, prefiks SLJJ yang semula "0" menjadi 3 digit dengan format "01X". Begitu juga untuk telepon yang berbasis VoIP (ITKP) prefiksnya diubah dari "01X" menjadi "010XY".
Akibat belum sepenuhnya mengadopsi konsep tadi, kita harus menjadi "kolektor" nomor telepon karena setiap kali ingin berganti operator pasti mendapat nomor telepon baru yang kadang menimbulkan ketidaknyamanan. Dibutuhkan sedikit "kerja ekstra" saat harus menginformasikan kepada kenalan atau relasi tentang identitas nomor telepon yang baru atau mana nomor telepon milik kita yang sedang aktif. Wajar, karena nomor telepon merupakan identitas yang penting sehingga harus unik, dikenali, dan tidak boleh sama dengan nomor telepon lainnya.
Dari sisi regulasi, penambahan nomor yang berlebihan merupakan pemborosan terhadap alokasi penomoran telepon nasional. Untuk saat ini tidak terlalu terasa, namun ke depan jumlah pelanggan telepon terus bertambah selain kemungkinan adanya operator-operator baru.
Penerapan number portability khususnya pada sambungan lokal dan seluler tidaklah semudah yang dibayangkan. Seperti halnya di AS, operator-operator telekomunikasi sebenarnya enggan menerapkan konsep number portability karena beberapa sebab. Yang pertama adalah jaringan telekomunikasi pada tiap operator belum siap untuk diintegrasikan karena belum mempunyai "bahasa" yang sama. Untuk itu perlu adanya sebuah clearing house guna menjembatani komunikasi dan proses pengalihan pelanggan dari operator satu ke operator lainnya.
Kendala yang kedua adalah besarnya biaya implementasi number portability. Selain itu, operator-khususnya incumbent-pasti mengkhawatirkan terjadinya perpindahan pelanggan (churn) secara besar-besaran yang berpotensi menurunkan pendapatan operator.
Dari sisi regulasi, aturan main number portability sama sekali belum ada.
Anton Timur Praktisi Telekomunikasi
0 Komentar:
Post a Comment
<< Home