1/05/2005

Prospek Bisnis ADSL

Source: KOMPAS - Kamis, 15 Juli 2004
Oleh: Anton Timur

DULU orang beranggapan bahwa telepon kabel atau wireline-sistem komunikasi paling umum-tidak dapat memenuhi kriteria untuk digunakan sebagai jalan raya informasi berkecepatan tinggi. Modem biasa-baseband-yang banyak digunakan untuk membawa data yang ditumpangkan pada kanal suara ternyata "hanya" mampu melaju hingga 56 Kbps.
M>small 2small 0< jaringan multimedia berkanal luas (broadband) seolah menjadi tugas yang rumit dan mahal. Namun, dengan munculnya teknologi Asynchronous Digital Subscriber Line (ADSL), paradigma itu berubah total. ADSL sanggup melewatkan jutaan bit informasi dalam hitungan detik pada jaringan telepon biasa. Sebuah peluang bisnis baru bagi industri telekomunikasi berbasis jaringan telepon tetap kabel yang sering juga disebut dengan public switched telephone network (PSTN).
Secara ringkas, ADSL yang termasuk dalam varian teknologi xDSL menggunakan teknik pengkodean tertentu dan memanfaatkan lebar pita frekuensi yang masih tersisa-sebelumnya hanya dipakai untuk frekuensi suara saja-pada kabel telepon yang terbuat dari tembaga untuk menyalurkan data. Teknologi tersebut memungkinkan dalam satu kabel telepon bisa dipakai untuk melakukan pembicaraan dan koneksi internet sekaligus tanpa saling mengganggu (baca Mengenal Teknologi ADSL, Kompas 19/5).
Bagi operator telekomunikasi telepon tetap, teknologi ADSL merupakan salah satu alternatif mempercepat penyediaan layanan broadband kepada pelanggannya. ADSL mungkin tak mengubah cara pelanggan dalam menggunakan internet, tetapi membuat proses download dan upload menjadi lebih cepat. Setidaknya ADSL memberikan cara baru untuk membangun hubungan yang lebih erat antara operator telekomunikasi dan pelanggan serta memperluas jangkauan layanan pelanggan dengan kliennya. Penggelaran ADSL mau tak mau harus segera ditempuh untuk mengejar ketertinggalan dari operator nirkabel-baik berbasis GSM maupun CDMA-yang kini telah memasuki teknologi layanan data berkecepatan tinggi (2,5 G dan 3G). Di samping itu, produk ADSL bahkan bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi operator PSTN di luar layanan suara yang sudah ada.
Secara global, peluang bisnis ADSL tampaknya cukup menjanjikan. Menurut laporan DSL Forum (www.dslforum.org), pada akhir tahun 2003 saja pelanggan ADSL di seluruh dunia telah mencapai 63,84 juta. China merupakan penyumbang populasi terbesar dengan jumlah pelanggan ADSL sebanyak 10,95 juta (belum termasuk Hongkong), kemudian disusul Jepang (10,27 juta), Amerika Serikat (9,12 juta), dan Korea Selatan (6,43 juta).
Laporan itu juga mengungkapkan bahwa secara global Asia Pasifik tetap menjadi pasar terbesar ADSL dengan market share lebih dari 32 persen. Di kawasan Asia Tenggara, Singapura menempati posisi teratas untuk tingkat penetrasi ADSL sebesar 12,6 sambungan ADSL perseratus saluran telepon.
Prospek penggelaran ADSL di Indonesia sepertinya juga cerah karena PT Telkom memiliki sekitar 8,72 juta pelanggan telepon kabel yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Hal ini jelas merupakan ceruk pasar broadband yang besar untuk dilayani dengan menggunakan teknologi ADSL.
Jika sekitar 5 persen saja (atau 400.000) dari total pelanggan telepon tersebut juga menjadi pelanggan ADSL maka sudah jauh melebihi Singapura yang "baru" memiliki 242.000 pelanggan ADSL pada akhir tahun 2003. Padahal, jaringan lokal kabel tembaga di Indonesia yang layak secara teknis dapat digunakan untuk pita lebar sekitar 25 persen dari total pelanggan telepon. Atau lebih kurang 2 juta pelanggan telepon yang bisa dilayani ADSL.
PT Telkom sudah menggelar layanan ADSL dengan brand TelkomLink Multi Media Access (MMA). Pelanggan telepon di wilayah operasional Divisi Regional (DIVRE) II yang meliputi Jakarta Raya, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, serta di DIVRE V Jawa Timur untuk Kota Surabaya dan sekitarnya sudah bisa menikmati layanan ini meskipun baru sejumlah pelanggan dengan nomor awal tertentu saja. Kota-kota besar lain di Indonesia tampaknya juga segera menyusul.
Untuk masuk ke bisnis ADSL operator PSTN harus menginvestasikan modalnya untuk membeli berbagai perangkat pendukung teknologi ADSL di luar jaringan kabel tembaga yang sudah dimilikinya. Perangkat utama berupa digital subscriber line access multiplexer (DSLAM) yang jadi sentral pelayanan data ke seluruh pelanggan. Perangkat lainnya adalah server billing, network management system (NMS), broadband remote access server (BRAS) dan IP router.
Harga DSLAM bervariasi tergantung spesifikasinya, misalnya kapasitas port, protocol yang didukung, fitur yang dimilikinya, model indoor atau out door. Vendor-vendor China terbilang agresif dalam menawarkan perangkat ini dengan harga sedikit "miring" dibandingkan dengan pemasok perangkat dari Eropa atau Amerika.
Secara keseluruhan, nilai investasi untuk menggelar layanan ADSL dari hulu ke hilir sekitar 300 dollar AS-380 dollar AS per satuan sambungan layanan (SSL). Nilai investasi per SSL ini bisa menurun mengingat penjualan DSLAM di seluruh dunia makin meningkat dari tahun ke tahun yang berakibat positif turunnya harga jual.
Namun, berbisnis ADSL juga tak mudah, sejumlah kendala bisa menghadang dan yang paling krusial adalah masalah kualitas jaringan telepon yang terus terdegradasi. Hampir sebagian besar jaringan kabel telepon yang tergelar merupakan kabel berusia "lanjut" dan kondisinya hanya layak digunakan untuk layanan suara saja. Jikapun "dipaksakan" untuk melayani ADSL maka kecepatan data yang disalurkan ke pelanggan menjadi kurang optimal dan jangkauan yang bisa ditempuh juga semakin pendek.
Operator PSTN bisa mengatasinya dengan berbagai cara, di antaranya berupa penggantian kabel eksisting dengan kabel yang memenuhi spesifikasi teknis untuk layanan ADSL. Tapi hal ini jelas tidak menguntungkan dari sisi investasi karena butuh waktu yang lama dan biaya modernisasi jaringan lokal akses tembaga lumayan mahal.
Apalagi mengingat banyaknya kabel telepon milik pelanggan yang harus diganti. Alih-alih untung malah menjadikan bisnis ADSL tidak layak (feasible).
Cara lain yang bisa ditempuh adalah dengan audit potensi jaringan kabel telepon. Tujuannya untuk mengetahui boundary area sentral telepon mana saja yang memenuhi persyaratan teknis untuk penggelaran layanan broadband.
Langkah ini jelas lebih murah, cepat, dan mudah, namun mengurangi potensi pelanggan telepon yang hendak dibidik produk ADSL. Konsekuensinya, tingkat pengembalian investasi menjadi lebih lama. Di samping itu terkesan kurang memerhatikan prinsip equal treatment karena tidak semua pelanggan telepon bisa mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh layanan ADSL.
Kendala kedua adalah mahalnya biaya bandwidth internet, khususnya di Indonesia. Hal ini menjadikan harga tiap paket ADSL yang ditawarkan menjadi kurang kompetitif. Dibandingkan harga paket ADSL yang ditawarkan operator PSTN negara-negara lain, harga berlangganan di Indonesia terbilang mahal.
Biaya berlangganan bulanan ADSL di Singapura (SingTel) "hanya" sebesar 378 dollar Singapura (belum termasuk pajak 5 persen) atau sekitar Rp 2.079.000 (asumsi kurs 1 dollar Singapura setara Rp 5.500).
Kondisi ini menyebabkan produk ADSL di Indonesia terasa kurang menarik konsumen komunikasi data dibandingkan solusi broadband lainnya.
Sampai saat ini layanan yang bisa diberikan oleh ADSL di Indonesia baru sebatas suara (telepon analog) dan data (internet). Padahal, dengan teknologi ADSL, banyak sekali content yang bisa dihasilkan, misalnya layanan voice over DSL (VoDSL), virtual private network (VPN), download lagu atau musik (audio on demand), menonton tayangan film pilihan (video on demand), pengamatan rumah atau kantor jarak jauh (surveillance), dan lain-lain. Namun, sedikit sekali bahkan bisa dikatakan tidak ada penyedia isi (content provider) yang bermain di ADSL, padahal peluang bisnis yang ada terbuka lebar.
Kendala lainnya yang bisa mengganggu tingkat pelayanan kepada pelanggan adalah belum beresnya proses bisnis penanganan gangguan ADSL dan kompetensi SDM operator telepon tetap yang selama ini lebih terbiasa mengurusi layanan suara saja. Contoh kasus, petugas jaringan akses masih banyak yang beranggapan jika telepon pelanggan yang terpasang ADSL sudah bisa dipakai untuk melakukan percakapan maka jaringan telepon tersebut dianggap tidak bermasalah.
Padahal, untuk layanan data dibutuhkan tingkat kualitas yang lebih tinggi agar kecepatan koneksinya bisa optimal. Bisa terjadi sebuah saluran telepon pelanggan tidak bisa digunakan untuk mengakses internet, sedangkan untuk melakukan pembicaraan telepon masih bagus. Jika SDM operator PSTN tidak bisa mengatasi masalah-masalah umum seperti ini dikhawatirkan pelanggan ADSL berpaling ke solusi broadband lainnya yang disediakan oleh kompetitor (churn).
Pesaing terdekat adalah layanan modem kabel (cable-modem) yang menggunakan jaringan hybrid fiber coax (HFC) atau kombinasi jaringan koaksial dan serat optik yang biaya berlangganannya jauh lebih murah. Provider modem kabel di Indonesia di antaranya Kabelvision yang juga menggandeng ISP untuk memasarkan modem kabel.
Untuk akses internet dedicated 512 kbps, Kabelvision dan Centrin mengenakan biaya pendaftaran Rp 2,8 juta dan abonemen bulanan cuma Rp 46.000. Bandingkan dengan biaya berlangganan MMA dan akses internet ISP yang mencapai Rp 7-8 juta lebih. Ini masih ditambah jaminan kualitas jaringan serat optik yang lebih tahan terhadap gangguan dibandingkan kabel tembaga.
Hanya saja karena biaya investasi jaringan HFC sangat besar, jangkauan layanannya (coverage area) masih terbatas di kota-kota tertentu saja dan belum "menggurita" seperti PSTN. Pesaing ADSL di luar modem kabel masih banyak lagi, misalnya wavelan 2,5 GHz atau wireless fidelity (WiFi) yang sekarang lagi marak.
Walau masih banyak kendala dan rintangan untuk menggelar bisnis ADSL, produk ini masih bisa menguntungkan jika faktor penghambat tadi dapat dieliminasi. Terutama harus dicarikan jalan keluar agar harga berlangganan bisa lebih kompetitif, selain berbagai inovasi guna lebih meningkatkan penjualan ADSL. Misalnya mengemas produk ADSL dengan layanan konten atau produk lainnya (bundling), dengan solusi yang ditawarkan benar-benar dibutuhkan pelanggan.
Pengalaman sebelumnya, banyak layanan lewat jaringan tetap yang kurang berhasil-kalau tidak mau dikatakan gagal-saat ditawarkan kepada pelanggan, misalnya layanan pesan singkat lewat jaringan tetap (fixed phone SMS). Di sinilah pentingnya riset pasar sebelum penggelaran ADSL untuk mengetahui sikap, perilaku, dan keinginan pelanggan telepon terhadap layanan broadband.

Anton Timur, Praktisi Telekomunikasi

1 Komentar:

Anonymous Anonymous said...

This is an excellent blog. Keep it going.You are providing
a great resource on the Internet here!
If you have a moment, please take a look at my wireless web access site.
Have a great week!

11:58 PM  

Post a Comment

<< Home