Memahami Skenario Interkoneksi
Source: Bisnis Indonesia- Jumat, 09 Juli 2004
Oleh: Anton Timur
Sejak pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang salah satunya menghapus struktur monopoli, maka peta telekomunikasi di Indonesia mulai berubah.
Source : Bisnis Indonesia
Jakarta, (Bisnis) - Sejak pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang salah satunya menghapus struktur monopoli, maka peta telekomunikasi di Indonesia mulai berubah. Kompetisi antar operator telekomunikasi mulai terbuka lebar dan berakibat positif semakin bergairahnya kondisi pertelekomunikasian di Indonesia. Meski saling bertempur saat memperebutkan pelanggan, sebenarnya antar operator telekomunikasi tersebut juga harus saling akur jika menyangkut soal interkoneksi. Banyaknya operator telekomunikasi di Indonesia membuat interkoneksi menjadi kata kunci untuk memajukan sektor telekomunikasi. Lihat saja sekarang ada dua operator telekomunikasi yang diberi hak duopoli untuk bermain di layanan telepon tetap (lokal), Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), dan sambungan Langsung Internasional (SLI), yaitu Telkom dan Indosat. Kedua operator ini sering disebut incumbent operator atau operator telekomunikasi mapan yang telah beroperasi selama bertahun-tahun dan menguasai kepemilikan hampir sebagian besar infrastruktur strategis telekomunikasi yang ada di Indonesia. Di luar itu telah muncul beberapa operator seluler, baik yang berbasis GSM maupun CDMA, di antaranya Telkomsel yang merupakan anak perusahaan Telkom, Excelcomindo, Mobile8, Bakrie Telecom atau Satelindo yang sekarang bergabung dengan Indosat. Operator yang berbisnis sebagai penyedia jaringan data juga ada, misalnya CSM atau Lintas Artha. Belum lagi puluhan operator telekomunikasi berbasis VoIP baik yang dinyatakan pemerintah sebagai legal maupun yang ilegal. Layanan VAS Penyedia layanan value added services (VAS) berkepentingan dengan interkoneksi untuk menjual produknya berupa Call Center, Premium Call dan Calling Card. Operator-operator telekomunikasi diluar incumbent operator ini sering disebut juga dengan other licensed operator (OLO). Interkoneksi menjadi masalah krusial karena merupakan salah satu faktor yang menentukan bagi terciptanya kompetisi telekomunikasi yang fair operator telekomunikasi. Interkoneksi juga berdampak terhadap besaran tarif yang ditetapkan oleh sebuah operator telekomunikasi, karena biasanya komponen biaya interkoneksi dibebankan secara tidak langsung kepada pelanggan. Karena sedemikian pentingnya interkoneksi maka pemerintah kemudian mengaturnya lebih lanjut melalui PP No.52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. (lihat gambar) Pada skenario panggilan pertama, sebuah operator telekomunikasi melewatkan trafik hubungan komunikasi pelanggannya melalui jaringannya sendiri (trafik internal operator). Misalnya seorang pelanggan pelanggan kartu Simpati menghubungi nomor telepon pelanggan kartu Halo, sama-sama pelanggan Telkomsel. Bisa juga pelanggan telepon rumah (PSTN) Telkom satu dengan yang lainnya saling berhubungan dalam jaringan telekomunikasi internal milik Telkom. Skenario kedua, komunikasi dilakukan melalui link Mobile Switching Network (MSC) atau sentral telepon seluler ke MSC lainnya pada sebuah OLO (interlink MSC-MSC OLO). Contohnya, pelanggan Mentari Satelindo (sekarang Indosat) dengan nomor Jakarta yang ingin menghubungi pelanggan Matrix nomor Surabaya dilewatkan langsung antara MSC Jakarta dengan MSC Surabaya, di mana kedua-duanya merupakan MSC milik Indosat. Skenario panggilan ketiga adalah koneksi langsung antar operator telekomunikasi (OLO) tanpa melalui jaringan telekomunikasi milik incumbent operator (direct connect OLO). Pada skenario ini seorang pelanggan Simpati (Telkomsel) bisa langsung menghubungi pelanggan Pro XL (Excelcomindo) tanpa harus melewati jaringan milik Telkom. Skenario keempat dan kelima terjadi pada jaringan telekomunikasi milik incumbent operator, yaitu hubungan yang masuk ke jaringan incumbent operator dari OLO (incoming) dan hubungan yang keluar dari jaringan incumbent operator ke OLO (outgoing). Telepon rumah Contoh sederhananya, pelanggan telepon rumah (PSTN) Telkom (incumbent operator) menghubungi pelanggan Fren (Mobile8) yang merupakan OLO, berarti pelanggan Telkom tersebut mengadakan panggilan keluar jaringan milik Telkom (outgoing). Bisa juga pelanggan Matrix (Satelindo/ Indosat) menghubungi pelanggan Flexi (Telkom), berarti pelanggan Satelindo (OLO) tersebut memasuki jaringan telekomunikasi milik Telkom atau disebut juga incoming. Skenario keenam adalah jika panggilan yang terjadi dari sebuah OLO satu ke OLO lainnya transit melalui jaringan telekomunikasi milik incumbent operator. Misalnya, seorang pelanggan Esia (Bakrie Telecom) memanggil pelanggan ProXL (Excelcomindo) namun harus melalui backbone telekomunikasi milik Telkom. Dan skenario ketujuh adalah bila terjadi hubungan dalam satu operator (OLO) melalui jaringan telekomunikasi milik incumbent operator. Contohnya, pelanggan kartu Halo (Telkomsel) yang memanggil pelanggan kartu Simpati (Telkomsel) tetapi pada saat terjadi komunikasi harus melewati backbone telekomunikasi milik Telkom. Dilihat dari tren skenario panggilan yang terjadi trafik interkoneksi cenderung akan didominasi incoming dan outgoing dari incumbent operator ke OLO (skenario ke empat dan kelima), sedangkan skenario lainnya akan menurun. Hal ini didasari kenyataan bahwa tarif interkoneksi yang cukup tinggi menyebabkan operator-operator telekomunikasi di luar Telkom berusaha untuk tidak lagi tergantung kepada infrastruktur telekomunikasi milik Telkom. Ada beberapa strategi yang bisa ditempuh operator telekomunikasi (OLO) a.l. melakukan investasi pembangunan jaringan telekomunikasi sendiri secara bertahap atau melakukan redimensi trafik dan jaringan telekomunikasi. Cara pertama memang memerlukan biaya investasi yang tidak sedikit namun keuntungan yang didapat juga sangat besar karena operator tersebut bisa mandiri dan tak lagi harus selalu menyandarkan diri kepada iktikad baik incumbent operator. Langkah ini tampaknya sukses dilakukan Excelcomindo yang telah membangun sendiri jaringan serat optiknya di seluruh Nusantara untuk menghubungkan MSC ke MSC maupun MSC dengan BTS-nya, sehingga berhasil menurunkan pengeluaran biaya operasional (Operational expenditure/ OPEX). Cara yang kedua lebih mudah dan murah, namun ketergantungan terhadap incumbent operator masih sangat besar. Telkomsel dan beberapa operator lain sepertinya lebih banyak menggunakan cara ini karena dianggap lebih efisien dalam jangka pendek disamping tidak membebani anggaran biaya investasi (Capital expenditure/CAPEX).
Anton Timur, Praktisi telekomunikasi
0 Komentar:
Post a Comment
<< Home