Kampanye Melalui Internet
Sumber: Pikiran Rakyat, Selasa, 09 Maret 2004
Oleh Anton Timur, S.T.
SEIRING kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, kini sebagian partai politik (parpol) dan calon presiden (capres) yang akan berlaga dalam Pemilu 2004 memanfaatkan internet sebagai ajang kampanye. Mengapa internet? Mungkin karena internet bisa dianggap sebagai media penyebaran kepada umum, seperti halnya brosur dan selebaran. Bisa jadi, parpol dan capres enggan dibilang gaptek (gagap teknologi). Namun, parpol-parpol dan para capres tampaknya mulai menyadari bahwa internet merupakan media yang efektif untuk mendekati pemilih muda berusia 17 - 30 tahun, yang kini akrab dengan dunia internet.
Dari 24 parpol peserta pemilu 2004, belum semuanya memiliki situs web (website) resmi di internet. Padahal, website suatu parpol bisa dijadikan media untuk menyebarkan informasi tentang program partai yang dikampanyekan, jadwal dan kegiatan kampanye per hari, termasuk kesempatan tanya jawab antara pengguna internet (netter) dan juru kampanye (jurkam) atau para pengurus parpol.
Dengan model pencoblosan kartu suara pemilu seperti sekarang ini, website bahkan bisa lebih mengenalkan massa pemilih dengan para calon anggota legistalif (caleg) dan capres, melalui penayangan gambar (diam maupun bergerak) sang caleg atau capres, selama 24 jam non stop. Penayangan gambar seperti ini sebenarnya juga bisa dilakukan melalui media lainnya, misalnya televisi, namun relatif lebih mahal.
Jika membicarakan kampanye, yang segera terlintas di kepala kita adalah pengerahan massa, pawai atau arak-arakan kendaraaan bermotor dengan knalpot yang dimodifikasi sehingga memekakkan telinga. Lebih parah lagi, kerap kali diikuti dengan bentrokan antarmassa pendukung. Kampanye konvensional, melalui rapat umum dan pertemuan umum, memang cenderung rawan dan menimbulkan rasa kurang aman bagi masyarakat.
Hal ini tidak akan terjadi pada kampanye di internet. Di internet, kampanye bisa lebih aman dan terhindar dari berbagai bentuk kekerasan, sebab massa yang "menghadiri" website sebagai lokasi kampanye, tak akan bertatap muka atau bertemu secara fisik, melainkan hanya berinteraksi dengan sang jurkam dari depan layar komputer atau perangkat lain yang bisa mengakses internet.
Bagi KPU sendiri, internet bisa dijadikan salah satu media alternatif untuk menyosialisasikan Pemilu 2004. Sebenarnya KPU telah memiliki situs yang lumayan representatif (www.kpu.go.id), namun menu dan informasi yang disajikan terlalu "kaku" dan searah, sehingga terasa kurang dekat dengan netter (user friendly). Pertanyaan dari pengunjung situs tidak bisa dijawab seketika, sehingga tidak interaktif dan terkesan birokratis.
Padahal KPU memiliki Divisi Pendidikan dan Informasi Pemilu, yang seharusnya bisa mengoptimalkan websitenya untuk mendidik calon pemilih. Misalnya menjelaskan dengan lebih mudah apa yang harus dicoblos oleh pemilih, kenapa sebuah surat suara menjadi tidak sah, dan lain sebagainya. Apalagi website KPU jangkauannya ke seluruh dunia yang terhubung dengan internet, sehingga biaya sosialisasi untuk calon pemilih di luar negeri menjadi lebih murah. Tak perlu lagi anggota KPU menghambur-hamburkan uang rakyat untuk ongkos perjalanan ke luar negeri dengan alasan mengadakan sosialisasi Pemilu 2004 bagi calon pemilih yang berada di sana.
Isu menarik menyangkut kampanye di internet adalah efektivitas internet dalam mengajak pemilih untuk mengikuti anjuran parpol agar memilih salah satu caleg atau capresnya. Beberapa pihak masih menganggap internet sebagai media komunikasi antarpersonal, bukan media komunikasi massa. Oleh karena itu, beberapa partai malah sama sekali tidak mengandalkan penggunaan internet untuk menyebarkan berbagai program kerja yang akan dikampanyekan. Mereka masih akan tetap mengandalkan bentuk-bentuk kampanye seperti pada umumnya (konvensional). Alasannya, tidak ada sentuhan emosional antara penyebar informasi dan pengguna internet, karena kalimat-kalimat yang tersaji seperti di media cetak.
Alasan semacam ini jelas kurang tepat, sebab kampanye lewat internet tak hanya dapat dilakukan dengan menyajikan website saja, yang relatif statis dan komunikasinya satu arah. Perkembangan aplikasi di internet yang sangat pesat memungkinkan kampanye dilakukan secara dua arah, bahkan interaktif. Contoh paling mudah adalah pemanfaatan chatting yang kini digandrungi anak muda yang gemar internet. Dengan chatting, tanya jawab bisa dilakukan berbalasan pada saat itu juga (real time). Chatting juga tidak butuh kecepatan koneksi yang tinggi serta bandwidth yang lebar. Emosi yang diharapkan pun bisa tercipta jika sang jurkam mampu mengemas setiap program partainya dengan bahasa yang menarik, tidak membosankan, serta mudah diterima dan dipahami netter. Di samping membuat website dan chatting, kampanye di internet bisa juga dilakukan melalui pengiriman e-mail, milis (mailing list), mesagging, serta aplikasi internet lainnya.
Di Amerika Serikat (AS), suasana pemilihan kandidat Presiden AS semakin hangat berkat adanya weblog di internet. Weblog mirip dengan website, namun lebih sederhana. Isinya berupa posting (pengiriman) berita terkini yang dikirim oleh para relawan yang disebut dengan blogger. Para blogger tersebut menulis berita atau komentar apa saja yang menyangkut kandidat Presiden AS, menit demi menit, sehingga warga negara AS bisa menilai dengan lebih jernih kualitas, kemampuan dan kredibilitas sang capres yang akan dipilihnya.
Isu yang kedua adalah aturan main kampanye di internet yang belum diatur secara tegas oleh KPU. Apakah kampanye lewat internet dapat dibenarkan? Kapan batas waktu atau masa kampanye lewat internet? Apa yang dibolehkan serta apa yang dilarang saat kampanye di internet? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini semestinya harus sudah terjawab oleh KPU. Mungkin bisa dimaklumi, KPU menghadapi keterbatasan waktu dengan beban kerja yang sangat berat. Namun, di masa depan hendaknya permasalahan seperti ini harus sudah diantisipasi jauh-jauh hari.
Cepat atau lambat, masyarakat akan semakin banyak menggunakan internet, intensitasnya pun cenderung meningkat. Internet bisa mengubah opini atau turut menjadi bagian dari pengambilan keputusan masyarakat terhadap suatu masalah, termasuk Pemilu 2004.(Penulis, pemerhati infokom)***