1/06/2005

Voice Over DSL" Alternatif Meningkatkan Teledensitas Telepon

Source: KOMPAS- Kamis, 09 Desember 2004
Oleh: Anton Timur

HAMPIR semua operator telekomunikasi dunia saat ini mengembangkan jaringan pita lebar (broadband) dengan menggunakan teknologi ADSL (asymmetric digital subscriber line). ADSL memanfaatkan jaringan telepon yang terbuat dari kabel tembaga eksisting dan merupakan salah satu turunan dari rumpun teknologi xDSL.
Teknologi ini mampu memisahkan sinyal data dan suara pada saluran telepon biasa. Ini memungkinkan pelanggan melewatkan data berkecepatan tinggi dan melakukan percakapan telepon pada saat yang bersamaan tanpa saling mengganggu (baca "Mengenal Teknologi ADSL", Kompas, 19/5).
Kehadiran ADSL ini memberikan harapan baru untuk mempercepat pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (infokom) di Indonesia dengan lebih mudah dan murah.
Seiring dengan perkembangan teknologi xDSL yang semakin pesat, kini dimungkinkan pula pemanfatannya sebagai media untuk menambah saluran telepon yang telah ada. Model ADSL yang sedang dikembangkan Telkom hanya ada satu saluran telepon yang bisa digunakan untuk melakukan percakapan (telepon analog).
Dengan teknologi voice over digital subscriber line (VoDSL) pada sebuah sambungan telepon bisa ditambahkan lagi beberapa saluran telepon lain. Teknologi ini tentu saja sangat sesuai bila diimplementasikan di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Tingkat penetrasi telepon yang masih rendah di Indonesia (kurang dari 4 persen) masih memungkinkan terjadinya pertumbuhan satuan sambungan telepon (SST). Besarnya populasi penduduk Indonesia, tingkat pendidikan yang semakin baik, serta pergeseran gaya hidup masyarakat merupakan potensi pertumbuhan jasa infokom lebih meningkat di kemudian hari.
Perbedaan dengan ADSL
Seperti halnya telepon eksisting yang terdapat pada ADSL konvensional, saluran telepon VoDSL tetap bisa digunakan untuk melakukan percakapan telepon, walaupun kita sedang melakukan akses internet.
Namun, ada sedikit perbedaan cara kerja antara saluran telepon pada ADSL konvensional dan teknologi VoDSL. Gambar 1 mengilustrasikan perbedaan tersebut. Saluran telepon yang terbuat dari kabel tembaga tersebut bisa digambarkan sebagai pipa tunggal yang berisi dua pipa kecil. Pada ADSL konvensional, pipa pertama digunakan untuk mengalirkan data berkecepatan tinggi yang terhubung ke komputer (PC).
Pipa kedua merupakan saluran telepon eksisting untuk melakukan percakapan telepon biasa (plain old telephone system/POTS). Namun, karena pipa POTS ini masih analog, ia hanya bisa digunakan untuk satu saluran telepon saja (1 sst).
Pada saluran ADSL yang telah menggunakan teknologi VoDSL terdapat sebuah perangkat IAD (integrated acces device) pada sisi pelanggan yang berfungsi mengumpulkan dan mengatur trafik, baik dari komputer, telepon analog (POTS), maupun telepon VoDSL.
Jumlah saluran telepon VoDSL bisa lebih dari satu, bahkan hingga 16 saluran (SST), bergantung pada bandwidth yang tersedia pada pipa digital terebut. Di samping saluran telepon tambahan dari VoDSL, seperti halnya pada ADSL konvensional, pelanggan masih tetap dapat melakukan percakapan melalui saluran telepon eksisting (POTS).
Konfigurasi Jaringan VoDSL
Jaringan VoDSL terdiri dari beberapa perangkat utama, yaitu digital subscriber line access multiplexer (DSLAM) dan voice gateway yang ditempatkan pada sisi sentral telepon serta IAD yang berada di sisi pelanggan. DSLAM berfungsi sebagai pengolah sinyal digital agar bandwidth saluran telepon yang terbuat dari kabel tembaga dapat dioptimalkan sehingga dapat melewatkan data berkecepatan tinggi.
Selain itu mengatur lalu lintas data dari jaringan (cloud) internet melalui penyedia jasa internet-internet service provider (ISP)-untuk kemudian diteruskan ke pelanggan ADSL dan sebaliknya. DSLAM biasanya juga dilengkapi dengan POTS splitter untuk memisahkan alokasi kanal data dan suara (analog). Antara DSLAM dan ISP terdapat broadband remote access server (BRAS) yang terhubung dengan jaringan ATM.
Trafik suara VoDSL terhubung dari jaringan ATM (asynchronous transfer mode) ke sentral telepon (PSTN) melalui perangkat voice gateway (VGW). Mode transfer yang direkomendasikan DSL Forum dan ATM Forum adalah ATM Adaption Layer 2 (AAL 2).
AAL 2 merupakan teknik terbaru yang dirancang untuk mendukung penggabungan aliran paket real time melalui ATM virtual circuit connection (VCC). Suara dikirimkan ke IAD di sisi pelanggan melalui jaringan paket. IAD digunakan untuk me-mixing suara dan data. Umumnya pada perangkat IAD tersedia port ethernet atau port ATM untuk data dan sejumlah port suara untuk saluran telepon analog.
VGW merupakan jaringan akses digital jika dilihat dari sisi sentral lokal. Karena itu, koneksi antara gateway dan sentral lokal menggunakan standar antarmuka jaringan, yaitu V5.2. Antarmuka jaringan V5.2 digunakan negara-negara yang menggunakan standar telekomunikasi Eropa atau GR-303 dan TR-08 di Amerika Utara dan sekitarnya.
VoDSL menggunakan kelebihan bandwidth xDSL secara dinamis. Artinya saluran suara hanya akan mengonsumsi bandwidth ketika terjadi percakapan. Jika sedang tidak digunakan untuk menelepon (tidak aktif), bandwidth xDSL dapat digunakan untuk layanan lainnya, seperti akses internet. Karena itu, VoDSL harus memakai bandwidth xDSL yang terbatas secara efektif. Secara umum, arsitektur jaringan VoDSL tampak seperti pada gambar 2.
Persyaratan
Untuk mengimplementasikan VoDSL, ada beberapa persyaratan yang harus diperhatikan oleh operator. Suara yang dihasilkan haruslah sama atau minimal mendekati kualitas suara telepon biasa. Artinya, suara tersebut harus jernih dan tidak boleh terlambat (delay) agar tidak terjadi efek echo (menggema).
Untuk itu VoDSL dipersyaratkan memiliki tingkat keandalan yang tinggi (99,999 persen), terutama karena suara yang dihasilkan VoDSL dikirimkan menggunakan paket data. Untuk kenyamanan pelanggan layanan VoDSL juga harus menyediakan pilihan koneksi dengan semua jenis terminal telepon dan perangkat sentral lokal seperti private automatic branch exchange (PABX) atau key system telephone. Cara pemakaian telepon yang menggunakan teknologi VoDSL tidak ada perbedaan sama sekali dengan telepon biasa karena terminal telepon yang digunakan sama seperti yang kita pakai sehari-hari.
Penerapan VoDSL memberikan keuntungan baik bagi pelanggan maupun operator. Pelanggan akan memiliki keleluasaan untuk mendapatkan penambahan saluran telepon kapan saja jika menghendaki. Tidak perlu seorang pelanggan menunggu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun sekadar untuk mendapatkan saluran telepon tambahan.
Di samping itu, pelanggan bisa menikmati layanan suara dan data berkecepatan tinggi dengan harga yang ekonomis. Solusi telekomunikasi ini sangat sesuai untuk usaha kecil menengah atau segmen residensial kelas atas (high residential).
Bagi operator, di samping meningkatkan teledensitas telepon, VoDSL bisa menjadi sumber pendapatan baru karena berpotensi menjadi aplikasi yang disukai konsumen (killer application). Investasi VoDSL terhitung rendah karena hanya menambahkan beberapa perangkat pendukung pada jaringan xDSL yang sudah ada sekaligus menghemat biaya penggelaran jaringan akses tembaga.
Operator juga bisa memakai VoDSL sebagai alat untuk mempertahankan loyalitas pelanggan. Ini karena untuk mendapatkan layanan bundling data dan suara pelanggan tidak perlu berpindah operator.

Anton Timur, Praktisi Telekomunikasi

1/05/2005

Memahami Skenario Interkoneksi

Source: Bisnis Indonesia- Jumat, 09 Juli 2004
Oleh: Anton Timur

Sejak pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang salah satunya menghapus struktur monopoli, maka peta telekomunikasi di Indonesia mulai berubah.
Source : Bisnis Indonesia
Jakarta, (Bisnis) - Sejak pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang salah satunya menghapus struktur monopoli, maka peta telekomunikasi di Indonesia mulai berubah. Kompetisi antar operator telekomunikasi mulai terbuka lebar dan berakibat positif semakin bergairahnya kondisi pertelekomunikasian di Indonesia. Meski saling bertempur saat memperebutkan pelanggan, sebenarnya antar operator telekomunikasi tersebut juga harus saling akur jika menyangkut soal interkoneksi. Banyaknya operator telekomunikasi di Indonesia membuat interkoneksi menjadi kata kunci untuk memajukan sektor telekomunikasi. Lihat saja sekarang ada dua operator telekomunikasi yang diberi hak duopoli untuk bermain di layanan telepon tetap (lokal), Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), dan sambungan Langsung Internasional (SLI), yaitu Telkom dan Indosat. Kedua operator ini sering disebut incumbent operator atau operator telekomunikasi mapan yang telah beroperasi selama bertahun-tahun dan menguasai kepemilikan hampir sebagian besar infrastruktur strategis telekomunikasi yang ada di Indonesia. Di luar itu telah muncul beberapa operator seluler, baik yang berbasis GSM maupun CDMA, di antaranya Telkomsel yang merupakan anak perusahaan Telkom, Excelcomindo, Mobile8, Bakrie Telecom atau Satelindo yang sekarang bergabung dengan Indosat. Operator yang berbisnis sebagai penyedia jaringan data juga ada, misalnya CSM atau Lintas Artha. Belum lagi puluhan operator telekomunikasi berbasis VoIP baik yang dinyatakan pemerintah sebagai legal maupun yang ilegal. Layanan VAS Penyedia layanan value added services (VAS) berkepentingan dengan interkoneksi untuk menjual produknya berupa Call Center, Premium Call dan Calling Card. Operator-operator telekomunikasi diluar incumbent operator ini sering disebut juga dengan other licensed operator (OLO). Interkoneksi menjadi masalah krusial karena merupakan salah satu faktor yang menentukan bagi terciptanya kompetisi telekomunikasi yang fair operator telekomunikasi. Interkoneksi juga berdampak terhadap besaran tarif yang ditetapkan oleh sebuah operator telekomunikasi, karena biasanya komponen biaya interkoneksi dibebankan secara tidak langsung kepada pelanggan. Karena sedemikian pentingnya interkoneksi maka pemerintah kemudian mengaturnya lebih lanjut melalui PP No.52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. (lihat gambar) Pada skenario panggilan pertama, sebuah operator telekomunikasi melewatkan trafik hubungan komunikasi pelanggannya melalui jaringannya sendiri (trafik internal operator). Misalnya seorang pelanggan pelanggan kartu Simpati menghubungi nomor telepon pelanggan kartu Halo, sama-sama pelanggan Telkomsel. Bisa juga pelanggan telepon rumah (PSTN) Telkom satu dengan yang lainnya saling berhubungan dalam jaringan telekomunikasi internal milik Telkom. Skenario kedua, komunikasi dilakukan melalui link Mobile Switching Network (MSC) atau sentral telepon seluler ke MSC lainnya pada sebuah OLO (interlink MSC-MSC OLO). Contohnya, pelanggan Mentari Satelindo (sekarang Indosat) dengan nomor Jakarta yang ingin menghubungi pelanggan Matrix nomor Surabaya dilewatkan langsung antara MSC Jakarta dengan MSC Surabaya, di mana kedua-duanya merupakan MSC milik Indosat. Skenario panggilan ketiga adalah koneksi langsung antar operator telekomunikasi (OLO) tanpa melalui jaringan telekomunikasi milik incumbent operator (direct connect OLO). Pada skenario ini seorang pelanggan Simpati (Telkomsel) bisa langsung menghubungi pelanggan Pro XL (Excelcomindo) tanpa harus melewati jaringan milik Telkom. Skenario keempat dan kelima terjadi pada jaringan telekomunikasi milik incumbent operator, yaitu hubungan yang masuk ke jaringan incumbent operator dari OLO (incoming) dan hubungan yang keluar dari jaringan incumbent operator ke OLO (outgoing). Telepon rumah Contoh sederhananya, pelanggan telepon rumah (PSTN) Telkom (incumbent operator) menghubungi pelanggan Fren (Mobile8) yang merupakan OLO, berarti pelanggan Telkom tersebut mengadakan panggilan keluar jaringan milik Telkom (outgoing). Bisa juga pelanggan Matrix (Satelindo/ Indosat) menghubungi pelanggan Flexi (Telkom), berarti pelanggan Satelindo (OLO) tersebut memasuki jaringan telekomunikasi milik Telkom atau disebut juga incoming. Skenario keenam adalah jika panggilan yang terjadi dari sebuah OLO satu ke OLO lainnya transit melalui jaringan telekomunikasi milik incumbent operator. Misalnya, seorang pelanggan Esia (Bakrie Telecom) memanggil pelanggan ProXL (Excelcomindo) namun harus melalui backbone telekomunikasi milik Telkom. Dan skenario ketujuh adalah bila terjadi hubungan dalam satu operator (OLO) melalui jaringan telekomunikasi milik incumbent operator. Contohnya, pelanggan kartu Halo (Telkomsel) yang memanggil pelanggan kartu Simpati (Telkomsel) tetapi pada saat terjadi komunikasi harus melewati backbone telekomunikasi milik Telkom. Dilihat dari tren skenario panggilan yang terjadi trafik interkoneksi cenderung akan didominasi incoming dan outgoing dari incumbent operator ke OLO (skenario ke empat dan kelima), sedangkan skenario lainnya akan menurun. Hal ini didasari kenyataan bahwa tarif interkoneksi yang cukup tinggi menyebabkan operator-operator telekomunikasi di luar Telkom berusaha untuk tidak lagi tergantung kepada infrastruktur telekomunikasi milik Telkom. Ada beberapa strategi yang bisa ditempuh operator telekomunikasi (OLO) a.l. melakukan investasi pembangunan jaringan telekomunikasi sendiri secara bertahap atau melakukan redimensi trafik dan jaringan telekomunikasi. Cara pertama memang memerlukan biaya investasi yang tidak sedikit namun keuntungan yang didapat juga sangat besar karena operator tersebut bisa mandiri dan tak lagi harus selalu menyandarkan diri kepada iktikad baik incumbent operator. Langkah ini tampaknya sukses dilakukan Excelcomindo yang telah membangun sendiri jaringan serat optiknya di seluruh Nusantara untuk menghubungkan MSC ke MSC maupun MSC dengan BTS-nya, sehingga berhasil menurunkan pengeluaran biaya operasional (Operational expenditure/ OPEX). Cara yang kedua lebih mudah dan murah, namun ketergantungan terhadap incumbent operator masih sangat besar. Telkomsel dan beberapa operator lain sepertinya lebih banyak menggunakan cara ini karena dianggap lebih efisien dalam jangka pendek disamping tidak membebani anggaran biaya investasi (Capital expenditure/CAPEX).

Anton Timur, Praktisi telekomunikasi

Prospek Bisnis ADSL

Source: KOMPAS - Kamis, 15 Juli 2004
Oleh: Anton Timur

DULU orang beranggapan bahwa telepon kabel atau wireline-sistem komunikasi paling umum-tidak dapat memenuhi kriteria untuk digunakan sebagai jalan raya informasi berkecepatan tinggi. Modem biasa-baseband-yang banyak digunakan untuk membawa data yang ditumpangkan pada kanal suara ternyata "hanya" mampu melaju hingga 56 Kbps.
M>small 2small 0< jaringan multimedia berkanal luas (broadband) seolah menjadi tugas yang rumit dan mahal. Namun, dengan munculnya teknologi Asynchronous Digital Subscriber Line (ADSL), paradigma itu berubah total. ADSL sanggup melewatkan jutaan bit informasi dalam hitungan detik pada jaringan telepon biasa. Sebuah peluang bisnis baru bagi industri telekomunikasi berbasis jaringan telepon tetap kabel yang sering juga disebut dengan public switched telephone network (PSTN).
Secara ringkas, ADSL yang termasuk dalam varian teknologi xDSL menggunakan teknik pengkodean tertentu dan memanfaatkan lebar pita frekuensi yang masih tersisa-sebelumnya hanya dipakai untuk frekuensi suara saja-pada kabel telepon yang terbuat dari tembaga untuk menyalurkan data. Teknologi tersebut memungkinkan dalam satu kabel telepon bisa dipakai untuk melakukan pembicaraan dan koneksi internet sekaligus tanpa saling mengganggu (baca Mengenal Teknologi ADSL, Kompas 19/5).
Bagi operator telekomunikasi telepon tetap, teknologi ADSL merupakan salah satu alternatif mempercepat penyediaan layanan broadband kepada pelanggannya. ADSL mungkin tak mengubah cara pelanggan dalam menggunakan internet, tetapi membuat proses download dan upload menjadi lebih cepat. Setidaknya ADSL memberikan cara baru untuk membangun hubungan yang lebih erat antara operator telekomunikasi dan pelanggan serta memperluas jangkauan layanan pelanggan dengan kliennya. Penggelaran ADSL mau tak mau harus segera ditempuh untuk mengejar ketertinggalan dari operator nirkabel-baik berbasis GSM maupun CDMA-yang kini telah memasuki teknologi layanan data berkecepatan tinggi (2,5 G dan 3G). Di samping itu, produk ADSL bahkan bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi operator PSTN di luar layanan suara yang sudah ada.
Secara global, peluang bisnis ADSL tampaknya cukup menjanjikan. Menurut laporan DSL Forum (www.dslforum.org), pada akhir tahun 2003 saja pelanggan ADSL di seluruh dunia telah mencapai 63,84 juta. China merupakan penyumbang populasi terbesar dengan jumlah pelanggan ADSL sebanyak 10,95 juta (belum termasuk Hongkong), kemudian disusul Jepang (10,27 juta), Amerika Serikat (9,12 juta), dan Korea Selatan (6,43 juta).
Laporan itu juga mengungkapkan bahwa secara global Asia Pasifik tetap menjadi pasar terbesar ADSL dengan market share lebih dari 32 persen. Di kawasan Asia Tenggara, Singapura menempati posisi teratas untuk tingkat penetrasi ADSL sebesar 12,6 sambungan ADSL perseratus saluran telepon.
Prospek penggelaran ADSL di Indonesia sepertinya juga cerah karena PT Telkom memiliki sekitar 8,72 juta pelanggan telepon kabel yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Hal ini jelas merupakan ceruk pasar broadband yang besar untuk dilayani dengan menggunakan teknologi ADSL.
Jika sekitar 5 persen saja (atau 400.000) dari total pelanggan telepon tersebut juga menjadi pelanggan ADSL maka sudah jauh melebihi Singapura yang "baru" memiliki 242.000 pelanggan ADSL pada akhir tahun 2003. Padahal, jaringan lokal kabel tembaga di Indonesia yang layak secara teknis dapat digunakan untuk pita lebar sekitar 25 persen dari total pelanggan telepon. Atau lebih kurang 2 juta pelanggan telepon yang bisa dilayani ADSL.
PT Telkom sudah menggelar layanan ADSL dengan brand TelkomLink Multi Media Access (MMA). Pelanggan telepon di wilayah operasional Divisi Regional (DIVRE) II yang meliputi Jakarta Raya, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, serta di DIVRE V Jawa Timur untuk Kota Surabaya dan sekitarnya sudah bisa menikmati layanan ini meskipun baru sejumlah pelanggan dengan nomor awal tertentu saja. Kota-kota besar lain di Indonesia tampaknya juga segera menyusul.
Untuk masuk ke bisnis ADSL operator PSTN harus menginvestasikan modalnya untuk membeli berbagai perangkat pendukung teknologi ADSL di luar jaringan kabel tembaga yang sudah dimilikinya. Perangkat utama berupa digital subscriber line access multiplexer (DSLAM) yang jadi sentral pelayanan data ke seluruh pelanggan. Perangkat lainnya adalah server billing, network management system (NMS), broadband remote access server (BRAS) dan IP router.
Harga DSLAM bervariasi tergantung spesifikasinya, misalnya kapasitas port, protocol yang didukung, fitur yang dimilikinya, model indoor atau out door. Vendor-vendor China terbilang agresif dalam menawarkan perangkat ini dengan harga sedikit "miring" dibandingkan dengan pemasok perangkat dari Eropa atau Amerika.
Secara keseluruhan, nilai investasi untuk menggelar layanan ADSL dari hulu ke hilir sekitar 300 dollar AS-380 dollar AS per satuan sambungan layanan (SSL). Nilai investasi per SSL ini bisa menurun mengingat penjualan DSLAM di seluruh dunia makin meningkat dari tahun ke tahun yang berakibat positif turunnya harga jual.
Namun, berbisnis ADSL juga tak mudah, sejumlah kendala bisa menghadang dan yang paling krusial adalah masalah kualitas jaringan telepon yang terus terdegradasi. Hampir sebagian besar jaringan kabel telepon yang tergelar merupakan kabel berusia "lanjut" dan kondisinya hanya layak digunakan untuk layanan suara saja. Jikapun "dipaksakan" untuk melayani ADSL maka kecepatan data yang disalurkan ke pelanggan menjadi kurang optimal dan jangkauan yang bisa ditempuh juga semakin pendek.
Operator PSTN bisa mengatasinya dengan berbagai cara, di antaranya berupa penggantian kabel eksisting dengan kabel yang memenuhi spesifikasi teknis untuk layanan ADSL. Tapi hal ini jelas tidak menguntungkan dari sisi investasi karena butuh waktu yang lama dan biaya modernisasi jaringan lokal akses tembaga lumayan mahal.
Apalagi mengingat banyaknya kabel telepon milik pelanggan yang harus diganti. Alih-alih untung malah menjadikan bisnis ADSL tidak layak (feasible).
Cara lain yang bisa ditempuh adalah dengan audit potensi jaringan kabel telepon. Tujuannya untuk mengetahui boundary area sentral telepon mana saja yang memenuhi persyaratan teknis untuk penggelaran layanan broadband.
Langkah ini jelas lebih murah, cepat, dan mudah, namun mengurangi potensi pelanggan telepon yang hendak dibidik produk ADSL. Konsekuensinya, tingkat pengembalian investasi menjadi lebih lama. Di samping itu terkesan kurang memerhatikan prinsip equal treatment karena tidak semua pelanggan telepon bisa mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh layanan ADSL.
Kendala kedua adalah mahalnya biaya bandwidth internet, khususnya di Indonesia. Hal ini menjadikan harga tiap paket ADSL yang ditawarkan menjadi kurang kompetitif. Dibandingkan harga paket ADSL yang ditawarkan operator PSTN negara-negara lain, harga berlangganan di Indonesia terbilang mahal.
Biaya berlangganan bulanan ADSL di Singapura (SingTel) "hanya" sebesar 378 dollar Singapura (belum termasuk pajak 5 persen) atau sekitar Rp 2.079.000 (asumsi kurs 1 dollar Singapura setara Rp 5.500).
Kondisi ini menyebabkan produk ADSL di Indonesia terasa kurang menarik konsumen komunikasi data dibandingkan solusi broadband lainnya.
Sampai saat ini layanan yang bisa diberikan oleh ADSL di Indonesia baru sebatas suara (telepon analog) dan data (internet). Padahal, dengan teknologi ADSL, banyak sekali content yang bisa dihasilkan, misalnya layanan voice over DSL (VoDSL), virtual private network (VPN), download lagu atau musik (audio on demand), menonton tayangan film pilihan (video on demand), pengamatan rumah atau kantor jarak jauh (surveillance), dan lain-lain. Namun, sedikit sekali bahkan bisa dikatakan tidak ada penyedia isi (content provider) yang bermain di ADSL, padahal peluang bisnis yang ada terbuka lebar.
Kendala lainnya yang bisa mengganggu tingkat pelayanan kepada pelanggan adalah belum beresnya proses bisnis penanganan gangguan ADSL dan kompetensi SDM operator telepon tetap yang selama ini lebih terbiasa mengurusi layanan suara saja. Contoh kasus, petugas jaringan akses masih banyak yang beranggapan jika telepon pelanggan yang terpasang ADSL sudah bisa dipakai untuk melakukan percakapan maka jaringan telepon tersebut dianggap tidak bermasalah.
Padahal, untuk layanan data dibutuhkan tingkat kualitas yang lebih tinggi agar kecepatan koneksinya bisa optimal. Bisa terjadi sebuah saluran telepon pelanggan tidak bisa digunakan untuk mengakses internet, sedangkan untuk melakukan pembicaraan telepon masih bagus. Jika SDM operator PSTN tidak bisa mengatasi masalah-masalah umum seperti ini dikhawatirkan pelanggan ADSL berpaling ke solusi broadband lainnya yang disediakan oleh kompetitor (churn).
Pesaing terdekat adalah layanan modem kabel (cable-modem) yang menggunakan jaringan hybrid fiber coax (HFC) atau kombinasi jaringan koaksial dan serat optik yang biaya berlangganannya jauh lebih murah. Provider modem kabel di Indonesia di antaranya Kabelvision yang juga menggandeng ISP untuk memasarkan modem kabel.
Untuk akses internet dedicated 512 kbps, Kabelvision dan Centrin mengenakan biaya pendaftaran Rp 2,8 juta dan abonemen bulanan cuma Rp 46.000. Bandingkan dengan biaya berlangganan MMA dan akses internet ISP yang mencapai Rp 7-8 juta lebih. Ini masih ditambah jaminan kualitas jaringan serat optik yang lebih tahan terhadap gangguan dibandingkan kabel tembaga.
Hanya saja karena biaya investasi jaringan HFC sangat besar, jangkauan layanannya (coverage area) masih terbatas di kota-kota tertentu saja dan belum "menggurita" seperti PSTN. Pesaing ADSL di luar modem kabel masih banyak lagi, misalnya wavelan 2,5 GHz atau wireless fidelity (WiFi) yang sekarang lagi marak.
Walau masih banyak kendala dan rintangan untuk menggelar bisnis ADSL, produk ini masih bisa menguntungkan jika faktor penghambat tadi dapat dieliminasi. Terutama harus dicarikan jalan keluar agar harga berlangganan bisa lebih kompetitif, selain berbagai inovasi guna lebih meningkatkan penjualan ADSL. Misalnya mengemas produk ADSL dengan layanan konten atau produk lainnya (bundling), dengan solusi yang ditawarkan benar-benar dibutuhkan pelanggan.
Pengalaman sebelumnya, banyak layanan lewat jaringan tetap yang kurang berhasil-kalau tidak mau dikatakan gagal-saat ditawarkan kepada pelanggan, misalnya layanan pesan singkat lewat jaringan tetap (fixed phone SMS). Di sinilah pentingnya riset pasar sebelum penggelaran ADSL untuk mengetahui sikap, perilaku, dan keinginan pelanggan telepon terhadap layanan broadband.

Anton Timur, Praktisi Telekomunikasi

Wireless Fidelity versus CDMA 2000

Source: Bisnis Indonesia, 10 Agustus 2004
Oleh: Anton Timur

Perkembangan teknologi digital yang begitu pesat membuat konvergensi antara teknologi telekomunikasi dengan Internet menjadi tak terelakkan lagi. Munculnya teknologi Wireless Fidelity (WiFi) yang begitu fenomenal memberikan harapan baru untuk melakukan komunikasi data nirkabel berkecepatan tinggi. Namun, berbagai kelemahan WiFi membuat teknologi ini seakan tersekat hanya untuk melayani area di sekitar titik akses (hotspot) saja. Standar WIMAX yang diharapkan dapat mengeliminasi berbagai kelemahan WiFi ternyata masih butuh waktu lama untuk mencapai tahap komersialisasi. Untunglah teknologi CDMA2000 kemudian hadir dengan berbagai kelebihan dan kemampuan koneksi data setara WiFi. Peluang bisnis komunikasi data nirkabel tampaknya sangat cerah. Menurut prediksi Qualcomm, demand komunikasi data nirkabel pada 2006 akan melampaui 200 megabytes tiap pengguna tiap bulan, berdasarkan asumsi makin meningkatnya kecepatan data nirkabel, perbaikan perangkat nirkabel, aplikasi, dan akses. Perkiraan tersebut bisa saja meleset tapi pertumbuhan bisnis data dan internet dari tahun ke tahun cenderung makin meningkat. Salah satu acuan yang bisa diambil adalah pendapatan usaha PT Telkom dari data dan Internet. Pada 2001 Telkom memperoleh pendapatan dari data dan Internet sebesar Rp 673 miliar, setahun kemudian meningkat menjadi Rp1,5 triliun, dan melonjak menjadi Rp3,1 triliun di akhir 2003. Sungguh fantastis. Pendapatan data dan Internet ini berada di urutan ke empat setelah telepon tetap, telepon bergerak, dan interkoneksi. Bukan tidak mungkin, pendapatan data dan internet akan menyalip interkoneksi atau bahkan telepon tetap beberapa tahun mendatang. Broadband nirkabel Ada beberapa pilihan teknologi nirkabel berkecepatan tinggi yang bisa dikembangkan operator. Namun, ada dua teknologi nirkabel yang begitu fenomenal kehadirannya, yaitu WiFi dan CDMA 2000. Pertumbuhan WiFi yang begitu pesat tak lepas dari pandangan bahwa WiFi mampu melewatkan data broadband yang melebihi kecepatan teknologi generasi ketiga (3G) dalam dunia telekomunikasi. Tapi dalam banyak kasus hal ini tidak selalu terpenuhi. Sebagai contoh standar 802.11b -salah satu standar WiFi yang banyak digunaka-mempunyai kecepatan data teoritis 11 Mbps. Pada kenyataannya, hampir setengah bandwidth yang tersedia digunakan untuk overhead sinyal radio. Sisa bandwidth 5,5 Mbps ternyata juga hanya bisa dicapai jika pengakses WiFi berjarak sangat dekat dengan access point. Kebanyakan operator WiFi diperkirakan melewatkan data dari jaringan Internet ke access point menggunakan jaringan E1 yang mempunyai kecepatan 2 Mbps atau malah melalui ADSL yang hanya berkecepatan 384 Kbps. Jika kita asumsikan koneksi backhaul ke jaringan Internet menggunakan ADSL maka kecepatan WiFi tinggal sekitar seratus kilobits per second (Kbps) saja karena kecepatan 384 Kbps tersebut akan menurun akibat berbagai sebab, misalnya pelemahan dan gangguan sinyal. Sebagai perbandingan, jaringan CDMA2000-1X EV DO (Evolution Data Optimized) secara konsisten dapat melewatkan 500 kbps, sedangkan pada CDMA2000-1X dapat mengirimkan data dengan kecepatan rata-rata 60-100 kbps. Sehingga secara umum pada kondisi traffic data normal maka kecepatan data CDMA setara dengan WiFi. Daerah cakupan Cakupan (coverage) wilayah yang dilayani WiFi pada sebuah access point hanya berjarak sekitar 60 meter sehingga dibutuhkan ratusan access point untuk menjangkau area yang lebih luas, misalnya perkotaan. Bandingkan dengan CDMA2000 yang mempunyai jangkauan sebuah Base Transceiver Station (BTS) sampai dengan 3 km. Pada kondisi line of sight (LOS) jarak jangkaunya bisa lebih jauh lagi. Bisa dibayangkan, CDMA mampu membuat area hotspot yang sangat luas tak hanya terbatas area sebuah kafe atau gedung perkantoran saja seperti halnya pada WiFi. Ini jelas sangat menguntungkan dan mempercepat pertumbuhan koneksi internet. WiFi sebenarnya cukup rentan terhadap interferensi atau gangguan yang disebabkan oleh frekuensi dari perangkat elektronik lain. Penyebabnya, WiFi beroperasi pada spektrum tak berlisensi (2,4 GHz) yang dikenal sebagai daerah berfrekuensi sangat padat. Berbagai peralatan elektronik bisa mengganggu kinerja WiFi, misalnya Bluetooth, telepon cordless atau bahkan oven microvave. Gangguan ini tentu saja merugikan karena mengurangi kualitas sinyal yang dipancarkan access point sehingga dapat menurunkan kecepatan koneksi Internet yang sedang dilakukan pengguna WiFi. CDMA2000 menggunakan frekuensi yang berlisensi, yaitu 800 MHz dan 1900 MHz. Meski juga tak bebas gangguan dan interferensi namun alokasi frekuensi yang resmi tersebut tidaklah sesesak pada 2,4 GHz. Isu lain pada WiFi adalah masalah keamanan jaringan. Meski telah tersedia standar keamanan WiFi Protected Access (WPA) atau WEP namun penyusupan masih sering terjadi. Pengamatan selama dua hari pada sebuah area hotspot yang pernah dilakukan AirDefense - sebuah vendor security - menunjukkan bahwa sebanyak 141 access point tidak terenkripsi, 149 kali usaha untuk menyadap pengguna lain, 105 kali serangan denial of service (DOS), dan lebih dari 36 jenis serangan lainnya. Pada CDMA2000, penyusupan yang tidak sah dapat diminimalisasi karena teknologi ini mempunyai tingkat keamanan yang tinggi. Tiap informasi melalui CDMA2000 dilindungi kode-kode enkripsi yang berlapis meskipun tidak bisa dijamin 100% aman. Untuk mengatasi kekurangan WiFi, beberapa industri perangkat wireless dan chip-chip komputer dari seluruh dunia kemudian bergabung untuk membuat standar interkoneksi antar teknologi broadband wireless access (BWA) yang mereka miliki pada produk-produknya. Hasilnya berupa standar BWA yang dikenal dengan nama Worldwide Interoperability for Microwave Access (WiMAX). WIMAX merupakan penggabungan antara standar IEEE 802.16 dengan standar ETSI HiperMAN. Salah satu keunggulannya, teknologi ini mempunyai area coverage sejauh 50 km, baik untuk indoor maupun outdoor. Jadi pengguna notebook yang sering berpindah tempat tak perlu khawatir kehilangan koneksi internet. Sayangnya, masih dibutuhkan waktu bagi teknologi ini untuk masuk pasaran. Penantian ini segera di penuhi oleh teknologi CDMA2000 yang menawarkan layanan dan kemampuan yang setara dengan WIMAX. Jadi time to market CDMA2000 jelas lebih cepat dari WiMAX. Biaya Investasi Sejumlah paparan tadi bukan berarti komunikasi data nirkabel melalui jaringan CDMA2000 tidak mempunyai kekurangan dan kendala saat implementasi hingga siap ditawarkan kepada konsumen. Biaya investasi CDMA2000 jelas lebih besar daripada WiFi. Hal ini karena infrastruktur CDMA lebih kompleks dan rancangan awalnya untuk mengakomodasi layanan suara. Untuk membangun BTS - BTS jaringan CDMA2000 tidaklah semurah biaya pembelian beberapa perangkat access point untuk area hotspot tertentu. Apalagi jika CDMA2000 tersebut beroperasi pada frekuensi 1900 MHz yang membutuhkan lebih banyak BTS dibandingkan jika beroperasi pada 800 MHz. Pada frekuensi tersebut sinyal CDMA2000 juga tidak terlalu kuat di lokasi indoor sehingga masih harus ditambah beberapa repeater atau perangkat penguat sinyal lainnya. Dengan demikian WiFi memang lebih unggul dan efisien untuk komunikasi data nirkabel dalam jaringan private, misalnya perkantoran atau kampus, sedangkan CDMA2000 lebih sesuai untuk area yang lebih luas. Kombinasi dari kedua teknologi ini lebih optimal karena keduanya bisa saling menutup kekurangan masing-masing.

Anton Timur, Praktisi telekomunikasi

Infrastruktur Broadband di Bandung

Source: Pikiran Rakyat-Kamis, 04 Maret 2004
Ole: Anton Timur

TEKNOLOGI informasi dan komunikasi (infokom) berkembang semakin pesat. Hal itu dipicu adanya internet protocol (IP) dan munculnya aplikasi-aplikasi baru yang kian inovatif. Indikasi ini bisa dilihat dari semakin meluasnya penggunaan e-mail, chatting, messaging, dan web sebagai sarana berkomunikasi serta berbagi informasi.
Gejala ini juga terasa di kota Bandung, masyarakat mulai marak memanfaatkan internet untuk mendukung kegiatan produktifnya, terutama di perkantoran dan warung internet (warnet). Namun, seiring dengan bertambahnya pengguna internet di kota Bandung, sementara keberadaan infrastruktur infokom masih terbatas, maka perlu segera dilakukan langkah-langkah pembangunan infrastruktur jaringan infokom pita lebar (bandwidth) berkecepatan tinggi atau biasa disebut dengan broadband.
Tujuan pembangunan infrastruktur broadband ini bertujuan untuk mengantarkan kota Bandung menjadi kota multimedia. Memang, tidak ada definisi pasti tentang kota multimedia (multimedia city). Secara umum, penulis mengartikannya sebagai 'kota pintar' atau intelligent city yang memiliki sistem, infrastruktur, jaringan, sarana dan prasarana yang mendukung teknologi infokom untuk menopang perkembangan masyarakat.
Dalam kerangka kerja pengembangan infrastruktur komunikasi Program Nusantara-21 (N-21) yang dirancang oleh beberapa pakar telematika nasional, kota multimedia merupakan pusat kegiatan ekonomi yang memiliki jalan raya informasi dalam kota yang handal dan menyediakan jalur-jalur akses yang lengkap ragamnya dan cukup ketersediaannya. Dengan demikian masyarakat di kota multimedia tersebut dapat melakukan kegiatan produktifnya melalui transaksi informasi secara cepat dan handal.
Salah satu contoh kota multimedia adalah 'Cyber Jaya', sebuah kota di negeri jiran Malaysia. Cyber Jaya memiliki konsep 'a city where man, nature and technology live together in harmony,' atau sebuah kota di mana manusia, alam dan teknologi seiring sejalan dalam keselarasan.
Terbukti, program kota multimedia ini mampu menarik banyak investor asing yang potensial untuk menanamkan modalnya di negara tersebut. Memang dalam beberapa hal terdapat perbedaan yang membuat Bandung dan Cyber Jaya sulit untuk dibandingkan begitu saja. Namun demikian kita masih dapat mempelajari strategi kota ini untuk menjadi kota multimedia.
Perencanaan
Tahapan pembangunan infrastruktur broadband di kota Bandung bisa dibagi menurut layer atau lapisan jaringan infokom tersebut, yaitu akses, transportasi, dan layanan atau aplikasi. Jaringan akses bisa diibaratkan sebagai jalan raya yang akan dilewati oleh informasi. Jaringan transportasi merupakan kendaraan yang menjadi pengangkut informasi tersebut, sedangkan layer service atau aplikasi adalah pengelola lalu lintas informasi serta berbagai aktivitas yang bisa dilakukan oleh informasi tersebut.
Ada berbagai macam jaringan akses di kota Bandung, terdiri dari jaringan kabel (wireline) dan nirkabel (wireless). Contoh jaringan kabel diantaranya kabel tembaga, koaksial, atau serat optik, sedangkan jaringan nirkabel, misalnya menggunakan microwave pada frekuensi 2,4 GHz yang banyak dipakai oleh warnet.
Frekuensi 2,4 GHz ini bersama frekuensi 5,8 GHz dan 24 GHz sebenarnya termasuk dalam band ISM untuk keperluan instrumentasi, ilmiah, dan kesehatan. Meskipun penggunaan frekuensi ISM ini untuk keperluan komersial masih menjadi perdebatan, kalangan warnet maupun sektor usaha lainnya lebih menyukai jenis akses nirkabel ini. Selain harga perangkatnya semakin murah, mereka merasa mandiri dan terbebas sama sekali dari operator telekomunikasi untuk membangun jaringan broadband. Tetapi, konsekuensinya bisa diduga, frekuensi 2,4 GHz menjadi crowded atau penuh sesak dan saling berinterferensi, sehingga koneksi yang diterimapun menjadi kurang optimal.
Menurut penulis, perlu komitmen yang jelas dan perencanaan yang lebih matang di antara pengguna akses nirkabel tersebut, sehingga berbagai persoalan tadi dapat diatasi dengan baik.
Sebenarnya pemanfaatan akses nirkabel ini bisa diperluas dengan membangun beberapa titik akses internet nirkabel untuk umum (hotspot) di berbagai lokasi strategis di kota Bandung, sehingga masyarakat dapat menggunakan koneksi internet berkecepatan tinggi dengan murah dan nyaman, tanpa perlu mencari saluran telepon untuk melakukan dial up.
Misalnya penempatan hotspot di sentra-sentra bisnis atau pusat perbelanjaan, sehingga mampu menunjang mobilitas masyarakat untuk mengakses internet.
Pada kenyataannya sebagian besar jaringan akses di kota Bandung masih didominasi kabel telepon yang terbuat dari tembaga. Kegunaannya terbatas untuk komunikasi suara atau dial up internet berkecepatan rendah. Untuk melewatkan suara dan informasi berkapasitas besar melalui kabel tembaga, operator telekomunikasi harus meningkatkan teknologinya dengan menggunakan Digital Subscriber Access (DSL).
Melalui teknologi ini dilakukan penambahan perangkat di sisi sentral telepon otomatis (STO) yang dinamakan dengan Digital Subscriber Line Access Multiplexer (DSLAM). Sedangkan di sisi pelanggan dipasangi modem Digital Subscriber Access (DSL). Kecepatan data yang diraih bisa mencapai 2 megabit/second (Mbps), tergantung kualitas kabel tembaga, jarak pelanggan dari STO serta besarnya bandwidth yang disediakan oleh ISP atau penyedia layanan internet.
Model jaringan akses lainnya yang bisa diimplementasikan di kota Bandung adalah Metro Access Network (MAN). Tidak seperti DSL, jaringan MAN berbasis serat optik, sehingga kecepatan data yang diperoleh bisa mencapai puluhan megabit/second (Mbps) atau puluhan juta bit tiap detiknya.
Konsep ini menerapkan prinsip 'ethernet everywhere' atau seluruh titik akhir jaringan akses berupa saluran ethernet yang digunakan untuk komunikasi suara, data, maupun video berkualitas tinggi. Hal ini dimungkinkan karena kapasitas serat optik sangat besar dan tahan terhadap berbagai gangguan sinyal. MAN cocok untuk diimplementasikan pada gedung-gedung bertingkat, misalnya gedung perkantoran, hotel, mal, dan apartemen.
Investasi untuk pembangunan MAN sangat besar sehingga pemilihan lokasinya harus selektif, misalnya sentra bisnis dan jasa di sekitar Jln. Asia Afrika maupun kawasan Dago.
Alternatif lain yang bisa dipilih adalah jaringan Hybrid Fiber and Coax (HFC). Jaringan HFC merupakan kombinasi antara serat optik di sisi jaringan primer dan sekunder dengan kabel koaksial ke sisi pelanggan. Tujuannya untuk menurunkan biaya investasi penggelaran jaringan serat optik yang sangat besar, namun masih dapat melayani broadband dengan kualitas dan kapasitas mendekati jaringan optik seperti pada MAN.
Kondisi jaringan transportasi eksisting di kota Bandung masih belum memadai untuk kebutuhan broadband, mengingat kanalnya masih sempit dan lebih banyak digunakan untuk komunikasi suara. Langkah PT Telkom Divre III untuk membangun Regional Metro Junction (RMJ ) di kota-kota besar di Jawa Barat dan Banten, termasuk Bandung, akan memperlebar jaringan transportasi yang sudah ada, dan bisa dijadikan embrio untuk membuat 'jalan raya' informasi (information highway) di kota Bandung.
RMJ ini juga sejalan dengan konsep Next Generation Network (NGN) atau disebut juga dengan jaringan telekomunikasi masa depan yang menyatukan seluruh layanan broadband, baik suara, data, maupun gambar bergerak diatas platform jaringan berbasis paket (packet switch). Pada NGN, kendali jaringan dilaksanakan oleh Softswitch, menggantikan sentral telekomunikasi eksisting yang masih berbasis penyambungan sirkuit (circuit switch).
Apabila seluruh infrastruktur infokom telah dibangun, maka berbagai aplikasi untuk mendukung aktivitas produktif masyarakat bisa dikembangkan dengan lebih mudah, misalnya pelayanan pemerintah kota dalam satu atap melalui media online atau e-government, pemantauan kesehatan masyarakat jarak jauh atau telemedicine, dan konsep pendidikan yang menyertakan teknologi infokom dalam proses belajar mengajar di sekolah yang disebut juga dengan smart school atau smart campus.
Aplikasi lain yang bisa diterapkan adalah Multi Purpose Card, yaitu menggabungkan semua jenis layanan masyarakat dalam satu kartu. Misalnya kartu tanda penduduk (KTP) yang juga bisa berfungsi sebagai kartu ATM maupun sebagai Surat Ijin Mengemudi (SIM).***

Anton Timur, ST., Pemerhati Telekomunikasi.

Number Portability di Indonesia

Source: Kompas-Kamis, 02 September 2004

Oleh: Anton Timur

KOMPETISI industri telekomunikasi di Indonesia semakin ketat sehingga operator harus mencari pelanggan baru sebanyak-banyaknya, di samping mempertahankan pelanggan lamanya kalau ingin tetap eksis. Kondisi ini memungkinkan seseorang mempunyai nomor telepon lebih dari satu, bahkan bisa dari operator yang berbeda-beda pula.
Akan tetapi, perlukah kita mempunyai banyak nomor telepon? Bagaimana jika pendekatannya diubah, pengguna jasa telekomunikasi bisa berganti-ganti operator dengan nomor telepon yang sama/tetap? Konsep menarik ini dikenal dengan sebutan number portability.
Number portability adalah kemudahan bagi pengguna jasa telekomunikasi, baik tetap maupun seluler, untuk berpindah operator tanpa perlu mengganti atau mengubah nomor telepon aslinya. Hingga kini ada tiga model number portability, yaitu:
1. service provider portability, yang memungkinkan pelanggan berpindah service provider atau operator tanpa perlu mengganti nomor teleponnya.
2. service portability, yang memungkinkan pelanggan berganti dari satu layanan ke layanan lainnya (misalnya dari telepon analog biasa menjadi ISDN) tanpa perlu mengganti nomor teleponnya.
3. geographic portability, yang memungkinkan pelanggan berpindah tempat dari satu lokasi fisik satu ke lokasi lainnya tanpa perlu mengganti nomor teleponnya.
Penerapan model service portability dan geographic portability belum sepopuler service provider portability sehingga tidak aneh bila kemudian pengertian number portability lebih banyak diartikan sebagai service provider portability.
Konsep number portability sudah diuji coba di Amerika Serikat melalui peraturan yang dibuat oleh Federal Communications Commision (FCC) atau badan regulasi telekomunikasi AS pada bulan Juli 1996. Peraturan tersebut dituangkan dalam UU Telekomunikasi (Telecommunications Acts) yang ditandatangani Presiden Bill Clinton. Tujuannya, membuka kompetisi telekomunikasi yang adil dan seluas-luasnya, khususnya bagi operator-operator telepon lokal dan wireless (seluler), baik pemain lama (incumbent operator) ataupun pendatang (new entrants operator). Number portability untuk jaringan telepon lokal tetap (wireline) disebut dengan local number portability (LNP), sedangkan untuk jaringan seluler disebut wireless number portability (WNP).
Penerapan di Indonesia
Indonesia sudah mulai mengadopsi konsep awal number portability meski masih terbatas pada pengaturan kode akses jasa telepon dasar untuk sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) dan sambungan langsung internasional (SLI). Saat ini pengguna jasa telekomunikasi bebas memilih operator SLI mana saja yang akan digunakannya untuk melakukan hubungan (ke dan dari) mancanegara dengan tetap memakai nomor telepon asalnya.
Masyarakat ketika akan melakukan SLI hanya perlu menggunakan kode awal (prefiks) telepon saja, 007 melalui PT Telkom, atau 001 dan 008 untuk PT Indosat. Cara yang sama nantinya juga akan diterapkan pada SLJJ di mana pengguna jasa telekomunikasi bisa bebas memilih 017 melalui PT Telkom atau 011 melalui PT Indosat, prefiks SLJJ yang semula "0" menjadi 3 digit dengan format "01X". Begitu juga untuk telepon yang berbasis VoIP (ITKP) prefiksnya diubah dari "01X" menjadi "010XY".
Akibat belum sepenuhnya mengadopsi konsep tadi, kita harus menjadi "kolektor" nomor telepon karena setiap kali ingin berganti operator pasti mendapat nomor telepon baru yang kadang menimbulkan ketidaknyamanan. Dibutuhkan sedikit "kerja ekstra" saat harus menginformasikan kepada kenalan atau relasi tentang identitas nomor telepon yang baru atau mana nomor telepon milik kita yang sedang aktif. Wajar, karena nomor telepon merupakan identitas yang penting sehingga harus unik, dikenali, dan tidak boleh sama dengan nomor telepon lainnya.
Dari sisi regulasi, penambahan nomor yang berlebihan merupakan pemborosan terhadap alokasi penomoran telepon nasional. Untuk saat ini tidak terlalu terasa, namun ke depan jumlah pelanggan telepon terus bertambah selain kemungkinan adanya operator-operator baru.
Penerapan number portability khususnya pada sambungan lokal dan seluler tidaklah semudah yang dibayangkan. Seperti halnya di AS, operator-operator telekomunikasi sebenarnya enggan menerapkan konsep number portability karena beberapa sebab. Yang pertama adalah jaringan telekomunikasi pada tiap operator belum siap untuk diintegrasikan karena belum mempunyai "bahasa" yang sama. Untuk itu perlu adanya sebuah clearing house guna menjembatani komunikasi dan proses pengalihan pelanggan dari operator satu ke operator lainnya.
Kendala yang kedua adalah besarnya biaya implementasi number portability. Selain itu, operator-khususnya incumbent-pasti mengkhawatirkan terjadinya perpindahan pelanggan (churn) secara besar-besaran yang berpotensi menurunkan pendapatan operator.
Dari sisi regulasi, aturan main number portability sama sekali belum ada.

Anton Timur Praktisi Telekomunikasi

NGN-Jaringan Telekomunikasi Masa Depan

Source: Kompas-Rabu, 11 Februari 2004
Oleh: Anton Timur

TEKNOLOGI informasi dan komunikasi (infokom) berkembang semakin pesat didorong oleh Internet protocol (IP) dengan berbagai aplikasi baru dan beragam layanan multimedia. Infrastruktur infokom terdiri dari public switched data network (PSDN) dan public switched telephone network (PSTN), namun hingga kini tulang punggung infokom masih banyak berpijak pada jaringan PSTN.
Kondisi ini kurang menguntungkan karena PSTN eksisting umumnya lebih menekankan pada layanan suara dan berpita sempit (narrow band). Untuk mempercepat penyediaan layanan pita lebar (broadband) pada jaringan eksisting tersebut maka PSTN dan PSDN harus segera "melebur" menjadi satu jaringan tunggal multilayanan yang disebut dengan jaringan telekomunikasi masa depan atau next generation network (NGN).
Ada tiga faktor utama pendorong evolusi jaringan PSTN tradisional menuju NGN. Pertama, keterbatasan arsitektur sentral PSTN eksisting. Operator telekomunikasi akan kesulitan untuk meningkatkan kemampuan PSTN untuk melayani layanan multimedia jika hanya mengandalkan upgrade versi perangkat lunak dan hardware pada sentral eksisting.
Infrastruktur sentral eksisting kebanyakan merupakan propietary atau teknologinya bersifat tertutup dan dikuasai vendor tertentu saja. Hal ini jelas menimbulkan ketergantungan operator telekomunikasi kepada pemasok perangkat tersebut.
Operator juga sulit untuk berinovasi dan membuat fitur baru. Selain itu, biaya upgrade dan pengembangannya pun menjadi mahal dan membutuhkan waktu yang lama. Karena sifatnya yang tertutup pula, maka biaya operasi dan pemeliharaan juga semakin besar.
Kedua, tren konvergensi jaringan dan layanan. Saat ini perbedaan teknik antara PSTN dan PSDN menyebabkan terjadinya pemisahan antara keduanya. PSTN yang berbasis sirkuit switch merupakan jaringan kompleks dengan ukuran yang besar, tersentralisir, dan tertutup. Sedangkan PSDN berbasis paket switch, lebih sederhana dan terdistribusi. PSDN tumbuh dengan pesat dengan adanya Internet, ekstranet, virtual private network (VPN), serta teknologi berbasis paket lainnya.
Bahwa suatu saat nanti paket switch akan menggantikan sirkuit switch, bisa dilihat dari semakin meningkatnya penggunaan voice over Internet protocol (VoIP). Namun hingga kini PSTN masih menduduki posisi terdepan untuk menyalurkan data, terutama layanan dial up analog modem.
Investasi sentral PSTN eksisting yang sangat besar juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Pilihannya adalah konvergensi antara PSDN dan PSTN menjadi satu jaringan tunggal multilayanan, dengan melakukan evolusi secara bertahap pada jaringan PSTN agar mampu mengakomodasi paket switch.
Ketiga, regulasi telekomunikasi telah memunculkan operator-operator baru. Persaingan yang semakin ketat antaroperator menyebabkan pelanggan akan berpindah ke kompetitor jika operator tersebut tak mampu memberikan layanan yang beragam, broadband, dan murah.
Arsitektur NGN
Menurut tren perkembangan jaringan telekomunikasi saat ini, jaringan masa depan akan menjadi jaringan terintegrasi pita lebar, terdiri dari bermacam-macam akses edge dengan hierarki fungsional jaringan makin jelas dan mudah dipahami. Secara umum, hierarki NGN terbagi menjadi beberapa lapisan (layer), yaitu: network service & application, network control, core switching, dan edge access layer.
Lapisan network service & application bertugas untuk memproses logika layanan, meliputi logika layanan intelligent network (IN), AAA (addressing, authentication, authorization) dan address resolution, serta mengembangkan aplikasi layanan dengan mengadopsi protokol standar dan application program interface (API). Komponennya meliputi server AAA, network management system (NMS), billing, network database, serta server aplikasi (application server).
Dengan adanya server aplikasi ini maka aplikasi-aplikasi layanan atau fitur-fitur baru lebih mudah dan murah dikembangkan karena platformnya terbuka (open platform) tanpa harus terikat oleh platform dari vendor/developer tertentu (propietary). Contoh aplikasi yang bisa dikembangkan adalah number portability, yaitu layanan yang memungkinkan nomor telepon pelanggan asal tidak berubah apabila pelanggan tersebut berpindah lokasi atau operator.
Lapisan kedua, network control, bertugas mengatur logika panggilan, memproses permintaan panggilan, dan memberi tahu lapisan core switching untuk membentuk hubungan yang sesuai. Di sinilah letak softswitch yang terdiri dari server panggilan (call server), pengendali rute (route controller), dan gerbang pensinyalan (signalling gateway). Secara hierarkis softswitch dapat dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu class 4 dan class 5.
Softswitch class 4 merupakan pengendali hubungan antarsentral tandem regional (trunk) dalam backbone nasional. Sedangkan softswitch class 5 merupakan tipe softswitch yang mengendalikan hubungan pada sentral lokal yang terhubung langsung dengan pelanggan.
Lapisan ketiga NGN adalah lapisan core switching untuk mengatur pembangunan dan pengelolaan hubungan serta melakukan penyambungan dan pengaturan jalur komunikasi untuk merespons perintah control layer. Komponennya meliputi sentral broadband multi- service, sentral utama ATM dan router IP berkapasitas besar, dan lain-lain.
Lapisan paling bawah adalah lapisan akses ujung (edge access layer) yang mendukung akses dari berbagai macam tipe media gateway, yaitu trunk gateway dan access gateway. Berbagai tipe perangkat konsentrasi akses multi-service, remote access server (RAS), analog gateway, maupun wireless gateway bisa diimplementasikan pada lapisan ini (Lihat gambar).
Kendala
Ada sejumlah kendala yang menghadang migrasi NGN pada infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Meskipun sejumlah vendor global dan nasional telah berhasil mengembangkan teknologi ini, namun kematangan softswitch masih dipertanyakan mengingat teknologi ini belum secara luas digunakan untuk kepentingan komersial oleh operator-operator telekomunikasi dunia.
Kondisi infrastruktur eksisting juga bisa menjadi penghambat laju menuju NGN. Hampir seluruh sentral dan perangkat telekomunikasi di Indonesia masih memakai spesifikasi teknis atau protokol lama yang bersifat propietary. Di lain pihak softswitch memberikan persyaratan standar dan protokol yang paling mutakhir dan terbuka sehingga hal ini dapat menyulitkan persyaratan kesesuaian protokol, interoperability dan interworking antara perangkat eksisting dengan perangkat NGN.
Faktor lainnya adalah masalah biaya investasi perangkat NGN dan penyediaan jaringan akses yang masih terasa mahal dan kurang kompetitif jika dibandingkan dengan meng-upgrade sentral eksisting. Diperkirakan investasi untuk menyediakan jaringan akses yang kompatibel dengan NGN bisa mencapai 65 persen dari total investasi untuk menggelar NGN.
Dan yang terakhir namun sering membuat runyam adalah masalah regulasi. Penerapan NGN bisa menimbulkan konsekuensi perubahan peta bisnis telekomunikasi sehingga regulator dituntut untuk segera memahami dan membuat aturan main tentang teknologi ini. Sasarannya, agar tidak menimbulkan dispute antar- operator dan kebingungan masyarakat saat nantinya teknologi ini telah dikomersialkan.
Meskipun masih banyak kendala yang dihadapi operator telekomunikasi untuk menerapkan teknologi softswitch, tetapi langkah perencanaan untuk melakukan migrasi (roadmap) menuju NGN harus segera dilaksanakan. Tanpa melakukan migrasi menuju NGN, jaringan PSTN yang masih menjadi tulang punggung infrastruktur telekomunikasi lambat laun tak akan optimal lagi mengakomodasi layanan multimedia.

Anton Timur Spesialis Penelitian dan Pengembangan Telekomunikasi

Perang Operator CDMA di Wilayah Jabar & Banten

Source: Pikiran Rakyat- Jumat, 09 Januari 2004
Oleh: Anton Timur

AKHIR tahun 2003 lalu bisa dikatakan merupakan momen bersejarah bagi dunia telekomunikasi di Jabar & Banten. Betapa tidak, ada empat operator Code Division Multiple Access (CDMA) yang sudah dan akan mulai beroperasi di tatar Sunda ini. Mereka adalah Telkom Flexi, Mobile 8, Esia, dan Indosat. Hadirnya empat operator CDMA tersebut jelas membawa angin segar bagi dunia telekomunikasi di Jabar & Banten. Namun bagi operator CDMA, saat-saat tersebut justru merupakan awal peperangan untuk merebut pasar dan menjadi "penguasa" CDMA di Jabar & Banten.
Komselindo
Sebenarnya jauh sebelum kedatangan keempat operator CDMA tadi, ada sebuah "operator CDMA" di Jawa Barat, yaitu Komselindo. Komselindo menggunakan teknologi AMPS sebelum memakai CDMA One, generasi teknologi sebelum CDMA 2000-1X. Isu AMPS yang mudah disadap, mau tak mau memaksa Komselindo untuk melakukan migrasi teknologi dari AMPS ke CDMA. Namun, begitu melakukan perluasan jaringan ke Jawa Barat, operator ini terbentur biaya migrasi ke CDMA yang cukup besar. Coverage area operator ini juga terbatas. Akhirnya seiring perjalanan waktu Komselindo gagal merebut hati masyarakat dan kalah bersaing dengan operator seluler lain. Kegagalan Komselindo ini bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi keempat pendatang baru tersebut.
Telkom Flexi
Telkom Flexi merupakan pemain CDMA 2000-1X yang pertama kali beroperasi di Jabar & Banten meskipun pada tahap awal baru melayani sebagian area kota Bandung. Produk ini diluncurkan oleh PT Telkom Indonesia melalui Divisi Fixed Wireless Access (FWA). Bandung dipilih sebagai motor penggerak Telkom Flexi di Jabar & Banten, oleh karena itu jangkauan pelayanannya semakin diperluas dengan membangun BTS hingga lebih dari 30 BTS di seluruh Bandung pada akhir Desember ini. Menyusul Bandung adalah kota Cirebon yang akan segera beroperasi dalam waktu dekat ini. Kota-kota lain di Jawa Barat dan Banten juga akan mendapatkan Telkom Flexi tetapi dibangun dengan pola BOT (Build, Operate, & Transfer). Telkom Flexi menawarkan dua layanan unggulan yaitu Flexi Trendy (prabayar) dan Flexi Classy (pascabayar). Telkom Flexi merupakan operator CDMA pertama yang menelurkan kartu RUIM (Removable User Identity Module) - seperti SIMcard pada GSM - yang memberi kemudahan kepada konsumen yang dinamis dan ingin tampil gaya untuk berganti handset sesuai dengan selera. Harga starter pack Flexi Trendy adalah Rp 80.000,00- sudah termasuk PPN 10%. Di dalamnya sudah terdapat pulsa (pre loaded) senilai Rp 50.000,-. Sedangkan untuk pasang baru Flexi Classy pelanggan cukup membayar biaya PSB sebesar Rp. 25.000,00 dengan tarif abonemen bulanan sebesar Rp. 30.000,00. Dengan teknologi CDMA 2000 1X ini kualitas suara akan terjamin tetap jernih dengan radiasi yang rendah (low radiation). Telkom Flexi juga menawarkan fitur-fitur yang bisa langsung dinikmati oleh pelanggan; seperti SMS, Caller ID, Call Waiting, Voice MailBox, maupun Call Forwarding. Masyarakat pun bisa menggunakan Telkom Flexi untuk mengakses internet atau melakukan koneksi data paket seperti halnya GPRS pada network GSM-1800 dengan kecepatan akses 153 kbps.
Layanan ini dinamakan dengan TELKOMNet@Flexi. Saat ini Telkom Flexi sudah bisa diperoleh masyarakat pada sentra-sentra ponsel yang ada di kota Bandung. Tanggapan masyarakat Bandung cukup menggembirakan, sehingga bukan hal yang mustahil bila tekad PT Telkom untuk menjadikan Bandung sebagai "Lautan Flexi" sepertinya akan segera terwujud.

Mobile-8
Menyusul Telkom Flexi memasuki Jabar & Banten pada bulan Desember ini adalah PT Mobile-8 Telecom (Mobile-8) yang mengeluarkan produk bernama FREN. Mobile-8 merupakan operator telekomunikasi yang mendapat lisensi operasi CDMA dengan cakupan Nasional dari pemerintah. Berbeda dengan Telkom Flexi yang memosisikan dirinya sebagai layanan fixed wireless, Mobile-8 mengklaim sebagai operator seluler layaknya operator GSM meskipun juga menggunakan teknologi CDMA 2000-1X dan CDMA 2000 1X EV-DO. Teknologi 2000-IX EV-DO (Data Only) ini merupakan teknologi terakhir yang menawarkan berbagai value added services (VAS) berbasiskan kecepatan data transfer yang tinggi di luar fitur standar yang biasa didapatkan di ponsel. Sampai dengan Desember 2003, jangkauan FREN di Jabar & Banten sudah mencakup kota Bandung, jalur Bandung-Cirebon, meliputi: Sumedang, Majalengka, Jatiwangi, Cirebon, jalur Pantura meliputi: Merak, Cilegon, Serang, Cikande, Tangerang, Bekasi, Karawang, Cikampek, Purwakarta, Pamanukan, Jatibarang, Indramayu, Arjawinangun, Cirebon, hingga Losari. Jalur Bandung-Jakarta lewat Puncak juga sudah bisa menikmati layanan FREN meliputi: Cipatat, Cianjur, Sukabumi, Puncak, Bogor, Depok. Jalur Selatan menuju Jawa pun mulai digarap, meskipun baru sampai kota Garut. Bahkan di lokasi wisata Anyer, Carita, maupun Labuan, masyarakat masih bisa menikmati layanan FREN ini. Seperti halnya, Telkom Flexi, FREN juga hadir dalam format prabayar dan pascabayar. FREN memunyai tiga fitur unggulan, di samping fitur standar CDMA seperti SMS, yaitu Noise Reduction, Easy Swap, serta FreeRoaming. Noise Reduction merupakan fitur yang mampu meredam suara yang tidak diinginkan di sekitar penelefon, misalnya saat kita berada di lingkungan yang bising atau ramai, sehingga lawan bicara masih bisa mendengar dengan jelas suara si penelefon. Easy Swap merupakan kemudahan bagi pelanggan pascabayar untuk berpindah ke prabayar dan untuk kembali lagi ke pascabayar, tanpa harus menghubungi customer service atau ganti kartu. Praktis dan dapat digunakan sewaktu waktu. FreeRoaming merupakan fasilitas yang tidak mengenakan biaya roaming nasional, meski layanan ini masih terbatas untuk FREN prabayar. Untuk mendongkrak penjualan, Mobile-8 gencar melakukan promosi dengan iming-iming hadiah menarik bagi 88.888 pelanggan pertama. Hebatnya lagi, hadiah ini bukan saja bagi pemenang tapi juga bagi pasangannya.

Esia
Pendatang ketiga adalah Esia, yang diluncurkan oleh PT Bakrie Telecom, perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki Aburizal Bakrie. Sebenarnya Bakrie Telecom yang dahulu bernama PT. Radio Telefon Indonesia (Ratelindo) ini telah masuk Jawa Barat dengan memberikan layanan fixed wireless di sekitar kota Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Ratelindo juga memberikan solusi telefon tetap bagi High Rise Building (HRB) di kota Bandung. Bahkan, dengan terlebih dahulu mengantongi izin frekuensi fixed wireless dari pemerintah pada frekuensi 800 MHz di Jakarta, Jabar, dan Banten, memaksa Telkom Flexi harus beroperasi pada frekuensi 1900 MHz pada ketiga wilayah tersebut. Untuk wilayah Bandung, Bakrie telah membangun 10 BTS yang akan terus dikembangkan menjadi 30 BTS hingga akhir tahun ini. Esia sudah terlebih dahulu diluncurkan di Jakarta dan menggunakan konsep Home dan City untuk melayani pelanggannya. Home adalah produk dari Esia yang ditujukan untuk mereka yang tidak terlalu memerlukan tingkat mobilitas tinggi. Untuk berlangganan Home, pelanggan harus menentukan area tetap (home zone) dimana selama pelanggan tersebut melakukan percakapan di dalam area ini, pelanggan hanya akan dikenakan tarif pulsa rumah. Jika sewaktu-waktu pelanggan ingin melakukan panggilan di luar home area tetapnya maka akan dikenakan tambahan surcharge sebesar Rp 100,00/menit. Home menggunakan sistem pascabayar, di mana pembayaran biaya penggunaan telefon dilakukan setiap bulan. Paket perdananya dipatok sebesar Rp 150 000,00 sudah termasuk PPN 10%, biaya administrasi dan aktivasi. Berbeda dengan Home, produk City merupakan layanan yang ditujukan bagi mereka yang memiliki mobilitas tinggi, sehingga dapat digunakan untuk menelefon kemanapun dan menerima panggilan darimanapun selama digunakan dalam satu kode area, misalnya 022 untuk area Bandung. City hadir dengan dua pilihan yaitu kartu pascabayar dan kartu prabayar. Seperti halnya dengan Home, City juga dilengkapi dengan SIM Card untuk memudahkan pergantian handset oleh pelanggan. Esia melayani dua area kode yaitu 021 untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya serta kode 022 untuk wilayah Bandung dan sekitarnya. Berbeda dengan Jakarta yang dibagi menjadi 8 home zone, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Bekasi, Tangerang, serta Depok, hanya ada satu home zone untuk Bandung dan sekitarnya. Sayangnya pelanggan belum bisa leluasa mengirim SMS dan gambar ke pelanggan GSM karena Esia masih mengupayakan akses interkoneksi antaroperator terutama GSM.

Indosat
Operator CDMA yang belum terlihat memasang "kuda-kuda" adalah Indosat. Meski telah merencanakan untuk ikut mengoperasikan layanan telefon tetap tanpa kabel berbasis teknologi CDMA pada awal tahun 2004, namun sampai saat ini Indosat masih dalam tahap persiapan. Di samping sebagai operator sambungan langsung internasional (SLI), Indosat juga mempunyai anak perusahaan seluler, yaitu Satelindo dan IM3 yang baru saja dilebur menjadi satu. Selain Bandung, kota-kota besar lain yang akan dimasuki layanan CDMA Indosat adalah Jakarta, Surabaya, Medan, dan Batam.

Kompetisi
Keempat operator CDMA tersebut mau tak mau harus berkompetisi dan bekerja keras untuk dapat merebut hati masyarakat Jabar & Banten. Esia dan Telkom Flexi masih bisa berbagi pasar karena berbeda frekuensi, tetapi keduanya harus menghadapi Mobile-8 yang bermodal besar dan memunyai lisensi nasional serta siap bermain di semua frekuensi mulai 450 MHz, 800 MHz, hingga 1900 MHz. Meskipun demikian, tidak mudah juga bagi Mobile-8 untuk "sapu bersih" karena Telkom Flexi masuk lebih awal daripada operator lainnya dan "nama besar" Telkom agaknya masih bisa menjadi jaminan kepercayaan masyarakat. Di samping itu Telkom Flexi ditunjang infrastruktur PT Telkom yang menjamin ketersediaan hubungan ke PSTN. Peluang Indosat agaknya lumayan berat mengingat start-nya telat dan belum ada tanda-tanda ke arah komersialisasi hingga saat ini.
Meskipun demikian, hampir semua operator CDMA masih tampak optimis karena mereka hadir dengan menggunakan teknologi CDMA 2000-1X yang selangkah lebih maju dibandingkan GSM dan menawarkan tarif yang lebih murah. Namun hal ini bukan jaminan untuk mendapatkan pangsa pasar nirkabel yang sebenarnya lumayan jenuh. Pemerintah malah berencana menaikkan tarif fixed wireless sehingga bisa lebih mahal dari telefon tetap, meski masih di bawah GSM. Disamping berkompetisi antar sesama operator CDMA, mereka juga harus menghadapi "musuh bersama" yaitu para operator GSM yang sudah lebih dulu menguasai pasar seluler di Jabar & Banten. Apalagi, hampir semua operator seluler segera melakukan langkah antisipasi dengan menurunkan tarif dan melakukan inovasi memberikan pilihan voucher yang dibandrol lebih murah dibandingkan sebelum kehadiran CDMA. Selain itu, pada awal pengoperasiannya, operator CDMA belum menunjukkan kualitas layanan yang melebihi, minimal menyamai kualitas layanan GSM. Interkoneksi juga bisa menjadi penghambat laju operator CDMA, karena tanpa interkoneksi yang luas, komunikasi dari operator CDMA ke GSM maupun ke telefon tetap bisa macet. Fitur-fitur CDMA belum banyak yang dioptimalkan, seperti layaknya GSM yang telah menggelar GPRS untuk melakukan transfer data dengan kecepatan tinggi dan MMS (multimedia message service) yang bisa mengirim serta menerima pesan berbentuk gambar bergerak (video streaming) dan akses internet lewat ponsel. Pesaing yang terakhir adalah PT Telkom Divre III yang masih menjadi "penguasa" layanan telefon tetap di Jabar & Banten. Tidak dapat dipungkiri, meski ketinggalan teknologi, layanan telefon tetap dengan kabel tembaga masih menjadi idola bagi kalangan residensial bahkan bisnis, terbukti dengan masih tingginya permintaan pasang baru (PSB) yang belum terlayani sampai saat ini. Hal ini wajar mengingat tidak semua orang membutuhkan telefon seluler atau wireless dan yang pasti tarif telefon rumah lebih murah dari CDMA maupun GSM.
Kesimpulan
Masuknya operator CDMA tersebut jelas menambah pilihan komunikasi yang semakin beragam bagi masyarakat yang telah lebih dulu menikmati layanan seluler dari beberapa operator GSM, di samping layanan telefon tetap dari PT Telkom. Di lain pihak, persaingan ketat pasti akan terjadi. Yang diuntungkan dari kompetisi antaroperator CDMA ini sebenarnya adalah masyarakat, karena hal tersebut akan memacu para operator untuk terus berinovasi, memperluas coverage area, dan memberikan kualitas yang terbaik. Tarif menjadi sesuatu yang relatif. Siapa yang memberikan service excellent kepada masyarakat Jabar & Banten, dialah yang akan jadi pemenangnya. (Anton Timur, S.T.)***
Penulis pemerhati Telekomunikasi

Mengenal Teknologi ADSL

Sumber: Kompas-Rabu, 19 Mei 2004

Oleh: Anton Timur

CARA dial up untuk melakukan koneksi internet murah dan mudah karena hanya menggunakan modem analog dan saluran telepon biasa walau kecepatannya masih rendah. Padahal, perkembangan beragam aplikasi di internet yang begitu pesat menuntut tersedianya koneksi berkecepatan tinggi.
KINI ada teknologi asymmetric digital subscriber line (ADSL) sebagai jalan raya informasi yang lapang. ADSL adalah teknologi modem yang mentransformasikan saluran telepon biasa menjadi saluran digital berkecepatan tinggi untuk melakukan komunikasi suara dan data super cepat.
ADSL salah satu teknologi xDSL yang memanfaatkan kabel tembaga untuk melewatkan data dengan kecepatan tinggi, seperti halnya high bit rate digital subscriber line (HDSL) atau symmetric digital subscriber line (SDSL). Beda di antara varian xDSL adalah mode transmisi dan kecepatannya.
Pada ADSL, mode transmisinya asimetris, kecepatan ke sisi sentral telepon (upstream) berbeda dengan kecepatan ke sisi pengguna (downstream). Ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa koneksi internet lebih banyak mengambil data (download) dari jaringan utama (backbone) internet dibandingkan dengan melakukan pengiriman informasi (upload). ADSL lebih efisien dan memenuhi kebutuhan pengguna Internet dibandingkan dengan varian lainnya.
Teknologi ADSL merupakan generasi ketiga dalam evolusi jaringan akses pita lebar (broadband) setelah modem analog yang berbasis suara (voiceband modem) dan integrated service digital network (ISDN). Teknologi modem analog berkembang pesat dari hanya berkecepatan 14,4 kbps hingga kini mencapai 56 kbps meski kenyataannya sulit meraih batas kecepatan ini.
ISDN mampu mencapai 128 kbps, tetapi butuh investasi besar untuk penggelarannya dan tetap masih dianggap lambat dibandingkan denganm kecepatan ADSL yang bisa melesat hingga 8 Mbps.
Modem ADSL menggunakan teknik pengodean digital untuk mengompres data hingga mampu melewatkannya sampai dengan 99 persen kapasitas saluran telepon tanpa mengganggu layanan suara yang telah ada. Ini artinya, kita tetap bisa melakukan pembicaraan di telepon atau mengirimkan faksimile saat sedang menjelajahi (browsing) internet.
ADSL mampu menyalurkan informasi sampai dengan 8 Mbps ke sisi downstream dan hingga mendekati 1 Mbps ke sisi upstream, tergantung kepada kondisi jaringan telepon. Teoretis, ADSL berkecepatan 2 Mbps mempunyai jarak jangkau dari sentral telepon ke pelanggan sekitar 5 kilometer. Semakin bagus kualitas jaringan telepon yang ada dan semakin besar diameter kabel telepon yang digunakan, semakin jauh jarak jangkauannya.
Konfigurasi ADSL terdiri dari dua komponen utama, yaitu perangkat digital subscriber line access multiplexer (DSLAM) di sisi operator telekomunikasi dan modem ADSL di sisi pelanggan. DSLAM bisa ditempatkan di sentral telepon (disebut juga indoor DSLAM) atau di sisi jauh jaringan telepon (disebut juga outdoor DSLAM). Perangkat DSLAM biasanya berukuran besar dan dilengkapi POTS splitter yang digunakan untuk memisahkan antara suara dan data.
Jenis protokol yang digunakan ke sisi backbone internet ada dua macam, asynchronous transfer mode (ATM) dan internet protocol (IP). IP lebih populer karena lebih banyak perangkat pendukung sesuai dengan standar ini.
Kapasitas port DSLAM bermacam-macam, dari empat port hingga ribuan port, disesuaikan dengan potensi pelanggan yang dilayani. Modem ADSL di sisi pelanggan dimensinya lebih kecil, dilengkapi colokan untuk data dan suara. Seperti halnya modem analog, modem ADSL tersedia dalam bentuk internal (terpasang pada motherboard komputer) maupun eksternal (terpisah dari komputer).
Ada dua sistem modulasi yang sekarang ini banyak dipakai oleh pemasok (vendor) ADSL, yaitu carrier-less amplitude/phase (CAP) dan discrete multi-tone (DMT). Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan dan belum ada standar resmi untuk pengodean ADSL.
CAP merupakan salah satu versi pengodean quadrate amplitude modulation (QAM) yang memodulasi data yang masuk dengan sinyal pembawa (carrier) tunggal kemudian ditransmisikan melalui saluran telepon. Sinyal pembawa tersebut telah dikompres sebelum ditransmisikan dan dapat dikembalikan ke asalnya pada sisi penerima sehingga seolah-olah tanpa sinyal pembawa (carrier- less).
Pada teknik pengodean DMT, data yang masuk dikumpulkan terlebih dulu, kemudian didistribusikan melalui sinyal pembawa kecil yang jumlahnya sangat banyak. DMT membuat kanal-kanal ini menggunakan teknik yang dikenal dengan discrete fast-fourier transform.
Banyak keuntungan penggunaan teknologi ADSL. Operator tidak perlu melakukan penggantian jaringan kabel telepon eksisting untuk membangun infrastruktur broadband secara cepat, berarti pengurangan biaya investasi.
ADSL juga lebih murah dibandingkan dengan penggelaran serat optik ke rumah-rumah pelanggan (fiber to the home/ FTTH). Keuntungan pelanggan, ia dapat melakukan komunikasi data lewat internet dan komunikasi suara sekaligus hanya dengan satu saluran telepon, tak perlu menambah saluran baru.
Kenyamanan pengguna saat berinternet ria tak akan terganggu panggilan telepon masuk, tidak seperti pada dial up internet yang kadang-kadang membuat koneksi internet terputus. Koneksi ADSL selalu tersambung (always on) sehingga tak perlu repot melakukan login berulang kali. Teknologi ini juga sesuai untuk kalangan perumahan (residential), pekerja jarak jauh (telecommuter) dan usaha kecil menengah (UKM) karena biaya berlangganannya relatif murah dibandingkan dengan solusi broadband lainnya. Harga perangkat modem ADSL juga tidak terlalu mahal, berkisar Rp 1,5 juta hingga Rp 3 juta, tergantung merek dan fitur yang dimilikinya.

Anton Timur Pemerhati Telekomunikasi E-mail: antontimur@yahoo.com

Apa beda WLL dengan Flexi?

Sumber: Kompas- Kamis, 16 September 2004
Oleh: Anton Timur

SETAHUN sudah TelkomFlexi hadir memenuhi kebutuhan telekomunikasi masyarakat, karena jaringan telepon tetap yang menggunakan kabel tembaga kini tak lagi banyak tersisa. Masyarakat yang mengharapkan sambungan telepon rumah mau tak mau harus menggunakan Flexi.
MESKI terasa kurang sreg, masyarakat mulai antusias memanfaatkan Flexi. Anggapan bahwa teknologi dan kualitas Flexi identik dengan WLL menjadi salah satu penyebab mengapa orang kurang sreg.
Pertanyaan yang sering mengemuka apakah Flexi menggunakan teknologi yang sama dengan WLL atau berbedakah Flexi dengan WLL? Sebagian pelanggan telekomunikasi di Indonesia memang masih trauma pada kualitas layanan WLL yang dulu ditawarkan semasa KSO (kerja sama operasi) di beberapa Divisi Regional (divre) PT Telkom.
Wireless local loop (WLL) adalah sistem telekomunikasi yang menggunakan sinyal radio sebagai pengganti kabel tembaga (copper). Teknologi WLL juga sering disebut dengan radio in the loop (RITL) atau fixed-radio access (FRA). Secara umum WLL bisa diimplementasikan menggunakan beberapa teknologi tanpa kabel, yaitu seluler analog, seluler digital, dan personal communication network (PCN)/personal communication service (PCS).
Ada tiga sistem seluler analog yang dulu dikenal luas, yaitu advanced mobile phone system (AMPS), nordic mobile telephone (NMT), dan total access communication system (TACS). Namun, seluler analog mempunyai kapasitas yang terbatas sehingga kurang cocok dipakai sebagai platform WLL.
Kemudian muncul seluler digital, seperti global system for mobile communication (GSM) dan code divison multiple access (CDMA). Meski GSM mendominasi implementasi seluler bergerak, namun GSM jarang digunakan sebagai solusi WLL. Penyebabnya arsitektur GSM sejak awal dirancang untuk melayani daerah perkotaan dan kurang efisien diterapkan di daerah dengan kepadatan telepon rendah.
Pada saat yang hampir bersamaan teknologi CDMA generasi awal (IS 95A, IS 95B, dan CDMAOne) kemudian hadir. Dengan kapasitas yang lebih besar dari GSM, CDMA ini mulai diimplementasikan di berbagai negara-termasuk Indonesia-dan mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat.
Alternatif terakhir teknologi WLL berupa PCS/PCN, yang merupakan protokol yang menggabungkan elemen seluler digital dan standar cordless. Tujuannya untuk memberikan layanan wireless dengan mobilitas rendah yang menggunakan antena berdaya kecil dan handset yang ringan. Salah satu model PCS/PCN adalah personal handyphone system (PHS).
WLL yang dibangun oleh Mitra KSO sebagian besar menggunakan teknologi PHS yang mulai berkembang di Eropa dan Jepang sekitar tahun 1995. Di negeri Matahari Terbit perkembangan PHS sangat pesat, hanya dalam waktu dua tahun pelanggannya telah mencapai tujuh juta.
Prestasi yang mengesankan ini membuat para Mitra KSO Telkom di Indonesia saat itu tertarik menggunakannya. Hampir semua wilayah operasi KSO kemudian membangun jaringan telepon tetap dengan teknologi WLL karena nilai investasinya memang lebih rendah daripada jaringan kabel tembaga dan pembangunannya relatif cepat.
Mitra KSO semula berharap solusi WLL akan mendatangkan keuntungan yang signifikan sekaligus segera menyelesaikan target pembangunan ratusan ribu satuan sambungan telepon (SST) seperti disyaratkan dalam perjanjian KSO. Namun kenyataan di lapangan jauh dari harapan semula, perencanaan yang kurang matang dan proses alih teknologi yang setengah hati menyebabkan kualitas dan layanan WLL tak sebagus di negeri asalnya.
Sebenarnya WLL yang berbasis PHS merupakan teknologi tepat guna untuk daerah pinggiran perkotaan dan pedesaan (sub-urban), serta daerah terpencil (rural) yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk rendah. Kemampuan PHS cukup bagus karena tiap cell station (CS) mampu melayani sampai dengan 11 pembicaraan dalam waktu yang bersamaan.
WLL/PHS berada pada rentang frekuensi 1900,25 MHz sampai dengan 1915,55 MHz. Dengan alokasi frekuensi selebar 15 MHz ini sebenarnya sangat cukup memenuhi kebutuhan telekomunikasi masyarakat. Stigma buruk yang melekat pada WLL/PHS membuat Telkom berupaya mengembangkan teknologi nirkabel lain yang lebih canggih, CDMA 2000-1x dengan brand TelkomFlexi.
TelkomFlexi
CDMA 2000-1x yang menjadi platform Flexi merupakan sistem teknologi telekomunikasi tanpa kabel terbaru dengan berbagai kemampuan menjawab kebutuhan komunikasi masa depan. Jika dilihat dari kurva teknologi, CDMA2000-1x merupakan generasi ketiga (3G) setelah telepon seluler analog dan CDMA generasi awal. Teknologi ini menggunakan teknik penyebaran spektrum (spread spectrum) dengan kode-kode unik secara acak.
Awalnya digunakan oleh kalangan militer karena kebal terhadap gangguan (antijamming) dan bebas penyadapan (anti-intercept). Kemudian Qualcomm, sebuah vendor telekomunikasi dari Amerika Serikat, mengembangkan lebih lanjut untuk kepentingan sipil hingga tercapai standar CDMA 2000-1X pada bulan Maret 2000.
Selain kebal gangguan dan anti penyadapan, kualitas suara CDMA2000-1x juga lebih jernih serta aman bagi kesehatan karena radiasi gelombang radio yang dipancarkan relatif lebih rendah dibanding teknologi nirkabel lainnya. CDMA2000-1x juga pas untuk melakukan komunikasi data karena mampu melewatkan data berkecepatan tinggi. Selain itu mempunyai fitur-fitur layaknya dimiliki teknologi seluler GSM, misalnya SMS, CLIP, voice mail, call forwarding, call waiting, dan lain-lain.
Kekhawatiran masyarakat bahwa kualitas layanan dan teknologi yang digunakan Flexi sama dengan WLL semasa KSO (PHS) tidak perlu lagi terjadi karena Flexi lebih bagus. Dibutuhkan waktu untuk pembelajaran teknologi CDMA2000-1x agar dapat diterima masyarakat, tetapi yakin Flexi akan semakin dirasakan sebagai solusi telekomunikasi yang paling tepat.

Anton Timur (antontimur@yahoo.com), Praktisi Telekomunikasi

Mobile Number Portability

Kompas-Rabu, 29 September 2004
Oleh: Anton Timur

BOOMING telepon seluler sedang melanda Indonesia. Salah satu pemicunya adalah tren kartu prabayar murah. Hanya dalam hitungan bulan pertumbuhan pelanggan seluler tiap operator melonjak pesat.
FENOMENA ini memberikan harapan yang cerah bagi industri telekomunikasi seluler, walau di sisi lain sebenarnya menimbulkan persoalan baru bagi konsumennya. Kebebasan konsumen seluler untuk memilih atau berpindah operator harus dilakukan dengan cara pembelian nomor ponsel baru. Akibatnya, konsumen seluler seolah menjadi kolektor nomor telepon dari beberapa operator.
Padahal seharusnya, semua operator telepon yang bergerak di Indonesia telah menerapkan konsep mobile number portability (MNP) atau dikenal juga dengan wireless number portability (WNP). Konsep ini memberikan keleluasaan kepada konsumen untuk memilih operator seluler mana pun dengan tetap menggunakan nomor ponsel yang sudah dimilikinya. Konsumen tak perlu harus berganti-apalagi menambah-nomor ponsel baru. (baca: "Number Portability di Indonesia", Kompas (16/9).
Dalam Telecommunication Regulation Handbook yang dikeluarkan oleh infoDev (www.infodev.org) bekerja sama dengan Bank Dunia dan International Telecommunication Union (ITU) disebutkan bahwa salah satu permasalahan interkoneksi global adalah belum diimplementasikannya number portability, termasuk MNP, di sebagian besar negara-negara anggota ITU. Kondisi ini mengakibatkan belum sepenuhnya terjadi kompetisi telekomunikasi yang fair dan lemahnya posisi konsumen telekomunikasi di negara-negara tersebut. (tabel).
Singapura merupakan pioner penerapan MNP di dunia. Sejak 1 April 1997 Infocomm Development Authority of Singapore (IDA)-badan regulasi informasi dan komunikasi Singapura- telah memutuskan untuk menerapkan MNP bagi semua operator seluler di negeri bersimbol kepala singa tersebut. Pelaksanaan MNP didahului dengan uji coba (field trial) pada pertengahan Februari 1997. Tujuannya untuk mencoba beberapa alternatif teknologi MNP yang bisa diadopsi oleh semua operator.
Solusi awal yang dipilih adalah penggunaan fasilitas call-forwarding. Bagi pelanggan yang ingin berpindah operator tetapi memilih untuk tetap mempertahankan nomor seluler eksisting, panggilan dari nomor telepon selulernya akan otomatis dialihkan dari sistem milik operator sebelumnya ke sistem operator baru. Tapi solusi ini dirasa kurang praktis, maka kemudian dipakai solusi lain yang lebih baik untuk jangka panjang melalui platform intelligent network (IN).
Awalnya untuk mengefektifkan MNP operator seluler Singapura mengenakan biaya administrasi bulanan kepada pelanggan sebesar 8-10 dollar Singapura (Rp 42.400-Rp 53.000) yang sejak 1 Agustus 2003 dihapuskan oleh IDA. Operator masih diberi hak untuk mengenakan biaya administrasi MNP tapi hanya satu kali (one time charge).
IDA juga mensyaratkan operator seluler untuk menyediakan layanan short message service (SMS) bagi konsumen seluler yang berlangganan MNP yang sebelumnya dicabut operator. Untuk itu operator harus meng-upgrade sistem MNP mereka agar mampu melayani SMS portability dan harus siap sebelum tanggal 1 Oktober 2003.
AMERIKA Serikat juga bisa kita jadikan tempat benchmarking konsep MNP. Federal Communications Commission (FCC) atau regulator telekomunikasi di Amerika Serikat menetapkan mulai 24 November 2003 semua operator seluler di AS harus menerapkan MNP. Sebelumnya semua operator telepon tetap di Negeri Paman Sam itu sudah lebih dulu mengimplementasikan number portability sehingga memberi kebebasan bagi seluruh pelanggan operator tetap di 100 kota besar di AS untuk berpindah ke operator lain yang diinginkannya.
Implementasi MNP di AS tidaklah semulus yang direncanakan. Pada awalnya hampir semua operator seluler di AS-termasuk Verizon, operator seluler terbesar dengan sekitar 33 juta pelanggan-mengajukan keberatan atas konsep MNP.
Cellular Telecommunications and Industry Association (CTIA) atau asosiasi industri dan telekomunikasi seluler AS memperhitungkan bahwa akan terjadi perpindahan pelanggan (churn) besar-besaran. Namun FCC berpendapat jika operator memiliki jaringan telekomunikasi yang andal dan pelayanan yang bagus, maka tidak perlu takut kehilangan pelanggan.
Sebelum pelaksanaan MNP, rata-rata churn yang terjadi relatif konstan antara 1,5 dan 3 persen tiap bulan per operator. Akhirnya setelah mengalami tiga kali penundaan-untuk memperbaiki beberapa perangkat pendukung MNP-semua operator seluler AS sepakat menerapkan MNP sebagai realisasi pelaksanaan Telecommunication Acts tahun 1996. Belakangan number portability diperluas lagi tidak hanya bagi sesama operator telepon tetap atau seluler, tetapi juga antara operator telepon tetap dengan operator seluler.
Indonesia termasuk salah satu negara anggota ITU yang belum mengadopsi konsep MNP. Padahal, Indonesia kini memiliki beberapa operator seluler besar seperti Telkomsel, Indosat Group (IM3 dan Satelindo), dan Excelcom yang berbasis GSM (global system for mobile communication).
Operator telepon bergerak yang menggunakan teknologi CDMA 2000-1X (code division multiple access) juga ada, misalnya Mobile-8 dan Mandara Seluler Indonesia (MSI). Masih ditambah lagi beberapa operator seluler lain dan operator 3G yang akan segera beroperasi (Cyber Access Communication dan Natrindo Telepon Seluler/ Lippo Telecom).
Jumlah pelanggan seluler di Indonesia hingga Juni 2004 mencapai sekitar 24 juta nomor, dan hingga akhir tahun diperkirakan melonjak menjadi 28 juta sambungan. Dari jumlah tersebut, Telkomsel mempunyai basis pelanggan sekitar 12,5 juta nomor, Indosat Grup 7,4 juta nomor, XL sekitar 3,7 juta pelanggan, sisanya operator lain sebanyak 0,4 juta. Pada tahun 2007 pelanggan seluler di Indonesia diperkirakan mencapai 65 juta pelanggan didorong kecepatan pertumbuhan seluler dan terus berlangsungnya pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
Banyaknya operator seluler tersebut memacu terjadinya iklim kompetisi. Operator seluler kemudian mencoba menyikapi kebutuhan jasa telekomunikasi dengan mengeluarkan berbagai produk dan layanan yang terbaik kepada konsumen seluler.
Tetapi karena operator-operator seluler Indonesia belum menerapkan konsep MNP, pelanggan seluler sebuah operator tidak bisa melakukan porting (berpindah ke operator lain) agar bisa mendapatkan layanan yang ditawarkan. Misalnya seorang pelanggan Telkomsel porting menjadi pelanggan Excelcom agar dapat menikmati telepon malam gratis yang ditawarkan Excelcom. Atau seorang pelanggan IM3 (Indosat) porting sementara menjadi pelanggan Telkomsel karena selama sebulan ia berada di daerah dengan sinyal Telkomsel yang lebih kuat.
Bisa dibayangkan konsumen seluler pasti akan tambah dimanjakan. Kedaulatan konsumen semakin ditegakkan, sementara industri seluler Indonesia juga tampil kompetitif karena MNP mampu mengeliminasi salah satu faktor penghambat interkoneksi antaroperator.
Tentu saja aturan dan perangkat pendukung MNP ini harus terpenuhi terlebih dulu, misalnya kesepakatan cara penanganan kewajiban pembayaran pelanggan dari operator lama ke operator baru agar tidak terjadi fraud. Alangkah bijak apabila regulator telekomunikasi segera berpihak kepada konsumen dengan membuat roadmap penerapan MNP di Indonesia.
Anton Timur Praktisi Telekomunikasi, Tinggal di Bandung