2/03/2005

Tantangan Perkembangan 3G

Source: Kompas, 3 Februari 2005

Tantangan Perkembangan 3G
Oleh: Anton Timur

TAHUN 2005 masyarakat akan merasakan layanan teknologi komunikasi seluler generasi ketiga atau 3G (third generation). 3G menawarkan koneksi data nirkabel berkecepatan tinggi (broadband) dan aplikasi multimedia interaktif secara real time-misalnya video call/conference, video on demand, atau kendali jarak jauh-melebihi kemampuan GSM selama ini.
Dari sisi teknologi, 3G menarik dan menjanjikan. Namun, benarkah investasi 3G di Indonesia akan menuai sukses?
Pertanyaan muncul sejalan antusiasnya beberapa operator telekomunikasi, baik baru maupun lama, untuk mendapatkan lisensi 3G dari pemerintah. Operator yang "beruntung" mendapatkan izin adalah PT Cyber Access Communications (CAC) dan PT Natrindo Telepon Seluler (NTS).
Keputusan pemberian lisensi malah menimbulkan "kecemburuan" di kalangan operator lama yang merasa lebih berhak mendapat lisensi 3G. Wajar saja mengingat pertimbangan pemerintah untuk menetapkan penyelenggara 3G terlihat kurang konsisten.
Pemerintah menunjuk CAC melalui beauty contest karena hanya mencari satu operator 3G yang benar-benar kredibel dalam membangun layanan seluler, baik dari kemampuan finansial maupun teknologi. Operator lama-jaringan tetap, jaringan bergerak seluler, atau jaringan bergerak satelit-tak akan diberi lisensi 3G.
Kritikan bahwa lisensi 3G tunggal cenderung mengarah pada praktik monopoli membuat pemerintah membukanya kembali. Hanya saja lisensi baru diberikan kepada NTS tanpa beauty contest, tapi penunjukan langsung.
Direktorat Pos dan Telekomunikasi serta anggota Komite Regulasi Telekomunikasi Indonesia (KRTI) merasa perlu melakukan "penyelamatan" terhadap NTS-dengan cara memberi lisensi 3G-karena nasib operator seluler tersebut "di ujung tanduk". Hal yang patut dipertanyakan karena bagaimana mungkin sebuah keputusan strategis dan menentukan cetak biru pertelekomunikasian nasional dibuat atas dasar "belas kasihan".
Apalagi lagi keputusan itu bertolak belakang dengan komitmen awal pemerintah untuk mendapatkan operator 3G yang tangguh. Kini pemerintah dan regulator semakin bingung untuk mengatur alokasi frekuensi 3G yang tinggal "sejengkal", namun harus dibagi-bagi lagi kepada beberapa operator seluler eksisting yang juga menuntut lisensi 3G.
Walau demikian, kehadiran dua operator 3G itu membuat Indonesia termasuk ke dalam 35 negara dunia yang telah mengadopsi 3G melalui jalur WCDMA (wideband code division multiple access). Meski 3G secara global meraih pertumbuhan konsumen yang signifikan, operator 3G di Tanah Air mungkin tak mudah mendapatkan pelanggan.
Banyak tantangan yang menghadang, antara lain, pertama, deman komunikasi data masih rendah. Konsumen seluler yang menggunakan ponselnya untuk browsing internet masih sedikit.
Demam SMS dan MMS belum bisa mewakili kebutuhan komunikasi data kecepatan tinggi yang menjadi andalan 3G. Pasar seluler Indonesia masih didominasi layanan berbasis suara yang akan menyulitkan perkembangan 3G.
Kedua, tarif layanan akses data masih mahal, yang menghambat keinginan masyarakat untuk mendapatkan manfaat dari internet. Ini tidak hanya terjadi pada koneksi data lewat dial up, ADSL, atau cable modem tetapi juga pada akses data nirkabel, khususnya seluler.
Operator 3G harus menjadi pelopor penyedia koneksi data murah jika ingin menarik perhatian. Layanan koneksi internet broadband atau percakapan tatap muka langsung menggunakan video call melalui ponsel pasti membutuhkan bandwidth yang besar. Dengan konsumsi bandwidth boros, tarif 3G harus terjangkau agar pelanggan seluler beralih ke 3G.
Ketiga, segmen 3G sangat terbatas. Angka 30 juta pelanggan seluler Indonesia bukan jaminan bahwa perkembangan 3G juga akan sepesat GSM.
Bisa diprediksikan, segmen pelanggan 3G akan lebih kecil daripada konsumen GSM sehingga operator 3G berharap banyak dari segmen anak muda dan komunitas yang "melek" teknologi. Asumsinya, perilaku segmen tersebut lebih mudah menyesuaikan dan menerima tawaran layanan data kecepatan tinggi dan multimedia interaktif.
Keempat, masih berkembangnya GPRS di teknologi 2,5G yang didukung tersedianya berjenis handset dan jaringan GSM yang menggurita, tak besar kemungkinan perpindahan (churn) pelanggan seluler GSM ke 3G. Apalagi beberapa operator CDMA (code division multiple access), baik fixed wireless maupun seluler, hadir di Indonesia. Teknologi CDMA2000-1X yang digunakan operator CDMA bisa dikategorikan sebagai 3G meski beda jalur dengan WCDMA yang jadi acuan operator GSM.
Kelima, content provider di Indonesia miskin kreativitas. Salah satu faktor yang membuat layanan data lewat seluler sulit berkembang di Indonesia adalah kurangnya content yang menarik dan dibutuhkan oleh konsumen. Operator 3G harus menawarkan content yang inovatif agar menjadi aplikasi yang disukai konsumen (killer application).
Sejumlah tantangan tadi harus disikapi operator 3G dengan visi dan strategi yang jelas. Hanya bermodal kecanggihan teknologi tidaklah cukup karena masyarakat selaku konsumen yang akan menilai mana layanan telekomunikasi yang dirasakan paling sesuai dan memberinya manfaat.
Anton Timur, Praktisi dan Analis Telekomunikasi

Labels: